Sabtu, 15 November 2014

Minggu-minggu Kejutan

Hari Minggu(Insya Allah)
            Bangun tidur, mandi, gosok gigi, membersihkan kamar tidur. Bait lagu anak-anak yang dulu sekali aku kenal, dan selalu teringat. Sangat kontra dengan sebuah lagu dari seorang seniman regee nasional asal kota onde-onde Mojokerto, Mbah surip, “Bangun todur, tidur lagi. tidur lagi bangun lagi,”. jika ditanya mana yang sekarang harus, entah terpaksa atau terbiasa, aku lakukan di sebuah pondok pesantren besar, Pondok Pesantren Tebuireng, ditambah lebel mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari yang menjadi ikon pembesar dan senioritas disini, jelasnya aku akan mengatakan bait pertama itu yang paling cocok. Bagaimana tidak? Jam 8 sudah masuk kuliah, dengan dosen yang ekstra disiplin.
            Kedewasaan dituntut disini, tak ada lagi suara ustadz pesantren yang datang membawa sajadah “, bangun-bangun….!”, tak ada teriakan ibu menejerit, “Abrorrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr!. Atau tak ada siraman air pak kyai yang sidak membangunkan sholat shubuh para santrinya.
            “Brakkkk(suara sesuatu jatuh”, terkaget aku dari tidurku yang hiper nyenyak. Sakit, sesuatu menjatuhiku. Terbangun. Ya Allah, apa yang terjadi? Tidak ada yang terjadi. Aku hanya bermimpi terjatuh dari tangga asrama dan terjatuh terbangun dihadang bidadari surga. Malaikat Rahman sangat baik membangunkanku dengan tepat. Pukul setengah 8. Menarik ingatan. Hari ini hari minggu, pelajaran kalam dan hadist dengan pengampuh Profesor Jamaluddin Mirry dosen fenomenal yang sangat tegas dan disiplin. Tak ada cacing bagi burung pemalas. Tak ada ilmu bagi yang terlambat, walau pasang muka “melas”.
            “Is(red; rois = ketua, kebetulan jadi ketua kelas), bangun, Kuliah nggak? Ingat is, sampean rois!”, kata si Zul Hamdi(mahasantri dari Lombok), “Dasar Kwok”, panggilan dalam bahasa Lombok yang artinya tukang tidur dan pemalas.
            “Iya Zul, aku khilaf. Astaghfirullah!”, bergegas aku bangun dan mandi. untuk saja kamar mandinya tak ramai. Kamar mandi asrama sangat berkuatas dilengkapi shower+WC dan tempat untuk bersikat gigi ria.
            Jadwalku setiap pagi adalah setor dari bank perut, cuma aku pikir-pikir lagi akan sangat memakan waktu. Coba aku mulghokan jadwal tersebut untuk sementara waktu. Mengingat waktu sangat mepet sekali. Terlihat mereka yang di kamar mandi pada berhamburan keluar. Yang di kamar juga pada berlarian menenteng kitab-kitab dan tas kecil. Seperti rusa yang kedatangan tamu singa, atau semut yang mencium bau gula.
            Seger. Tapi kesegaran itu tak bisa aku nikmati lebih dalam. Biasanya aq bisa menuju ke teras depan dibawah pohon Sono dan duduk sambil menyambut pagi dan membaca Al-qur’an atau kitab-kitab untuk murajaah. Untuk hari ini lagi-lagi harus aku mulghokan. Masuk kamar, ternyata kamar sudah sepi. Pagi ini aku yang malas. Biasanya aku yang obrak-obrak sekarang aku tertinggal kereta. Segera aku ganti baju menyiapkan buku dan  songkok nasional hitam. Untung saja sudah sholat shubuh. Awal mula dari semua adalah memang karena tidur setelah shubuh. Terkadang terpikir, memang tidur sehabis shubuh itu bisa menghalangi segala rencana yang ada. Aku menjadi sadar, bahwa shubuh adalah cerminan kedisiplinan dan konsistensi dalam islam untuk keselarasan segala bentuk urusan dalam hari-hari seorang hamba. Sebuah spectrum pengurusan dalam islam yang bagiku sangat sir(tersembunyi).
            “Bror, kelas kamu dah masuk dari tadi loh! Cepetan! “, sambar Bang Ipul, kakak kelas semester 3.
            “Ya Bang, makasi! Entar jangan lupa konci Motorku ya!”, kataku menyaut dari jauh, karena aku berjalan dengan tempo yang lebih cepat dari biasanya.
            Sampai di kampus, dag-dig-dug. Sudah sembari tadi sambil jalan aku terus membayangkan Ust Jamal marah-marah. Waktu menunjukkan jam 8 lebih 10 menit. Tapi apa yang terjadi? Satu kejutan yang luar biasa aku temukan. Pagi cerah di tebuireng sungguh mengejutkan betapa bodohnya aku. Berada di meja balik pintu melongo seperti monyet salah langkah. Bukan Ust Jamal di depan para mahasantri, tapi Ust Hannan, Mudir Ma’had Aly dan dosen mata kuliah kitab Muhadzab.  Perlahan aku ucapkan salam dan minta izin memasuki kelas. Kalau Ust Hannan kemungkinan besar kalau tidak sampai kelewatan waktu, masih bisa diizini. Langsung duduk di kursi tengah. Merapat ke Septian dan Mbah Wajid.
            “Jid, bukane sekarang iku pak jamal?”, tanyaku penasaran menjawab kebingungan.
            “Lah, ngelindur ta?, sekarang iku mas, hari senin, bukan minggu”. Jawab wajid sambil menahan tawa. Si Septian juga terlihat meringis tipis. Apalagi si Zul Hamdi yang membangunkanku. Di belakang, sudah terbahak-bahak tanpa suara dia. Sedangkan aku antara ingin tertawa dan kesal. Ya Allah, tak ku kira, betapa takutnya aku dengan  Ust Jamal sampai hari senin aku minggukan. Elektabilitas dan ketegasan beliau menjadikan aku segan dengan beliau. Tidak akan terlupakan.
Hari Selasa(Kejutan ke dua)
Pagi di IKAHA(institut keislaman Hasyim Asy’ari) yang sedikit mendung, beberapa hari matahari seperti enggan mewahyukan cahayanya ke bumi. Jemuranku saja tidak kering-kering dua hari. Teras kamar setiap hari harus dibersihkan karena cipratan air hujan yang super deras. Aku dan teman-teman kelas khusus mahasantri Mahad Aly menunggu kehadiran ustadz. Mahad Ali belum legal secara nasional sebagai pencetak sarjanah dan sekelas sekolah tinggi, melainkan masih dicatat sebagai pondok pesantren. Padahal secara kualitas berani aku katakana dia lebih baik dari universitas islam sekalipun. Kuliah di Mahad Ali serasa kita ada di Al-Azhar Mesir atau Al-Azhar di pindah di Jombang. Karena bahasa pengantarnya adalah bahasa Arab dengan dosen-dosen yang sebagian besar lulusan timur tengah, seperti Al-Azhar, Ummul Quro, bahkan ada yang lulusan Afrika Selatan. Ada juga seorang utusan dari Al-Azhar yang secara khusus didatangkan dari Mesir untuk membantu mengajar di Tebuireng dan Mahad Ali, yaitu Hafidhohullah Syekh Khidir Ibrahim.
“Yan, ki Ustadze gak hadir paling”, tanya Hafidz, mahasantri asal Malang yang super medok bicaranya kepada Septian selaku ketua Kosma dengan  pasang muka berharap.
            “Yo ek yan, gmn nie? Apa pulang?”, dari belakang muncul si cerewet rifdah.
            “Sabar ya, rek, dateng kok!”, jawab Septian dengan Gayanya yang tenang.
Dari ujung timur, seorang berpakaian batik usia yang sudah menua. Beliau adalah Ust Abdul Aziz, dosen ilmu pengantar hukum. Kita, angkatan baru di Mahad Ali semua terdaftar di IKAHA dalam jurusan Akhwal Syakhsyiah. Sebenarnya aku lebih memilih ekonomi syariah. Tapi karena memang ketika votting dimenangkan oleh jurusan AS.
Belajar ilmu pengantar hukum, seperti belajar ilmu PPKN di Madrasah. Cuma pembahasannya lebih kompleks dan sedikit lebih berat. Walau masih berat pelajaran Kalam sebenarnya. Apalagi dengan gaya pengajaran Ust Jamal yang memaksa kita menguras otak dan terkadang mengporak-porandakan pemahaman kalam kita sebelumnya. Bahkan ada yang ekstrim mengatakan setelah pelajaran Kalam, sebaiknya membaca syahadat. Sampai seekstrim itu.
“Jadi anak-anak, pancasila yang menjadi dasar Negara itu pernah diributkan oleh berbagai kalangan. Antara yang pro dan yang kontra. Eksistensinya juga pernah terkoyak oleh pemberontakan DI TII dan PKI”, Ust Abdul Aziz menerangkan di depan dengan gaya beliau yang sederhana dan santai.
“Dretttt…dretttttt” Hp-ku bergetar dan suaranya semakin kencang karena gesekan dengan meja. Ketika aku baca, telpon itu dari Ustadz Hannan. Waduh waktunya kurang tepat kali ini beliau telpon. Tapi mau bagaimana lagi, harus aku angkat. Aku meminta izin ke Ust Abdul Aziz dan beliau mengizinkan. Menuju ke luar kelas dan memulai percakapan.
“Assalamuaikum Ust!”, salam pembuka.
“Wa’laikumsalam Warohmatullah, Abror gimana kabarnya?”, jawab beliau disusul menanyakan kabar.
“Alhamdulillah bi khoir Ustadz. Ada apa ini Ustadz? Ada yang bisa saya bantu?”, tanyaku penasaran. Kemungkinan, kalau tidak disuruh ke kampus karena urusan kelas atau ada pemberitahuan khusus tentang bebera hal terkait kampus.
“Lagi dimana Abror?”.
“lagi di kampus IKAHA, Ustadz”.
“Oya, begini Abror kita dapat jatah dari PBNU untuk mengirimkan satu delegasi ke Jakarta mengikuti training Bahasa Arab semacam karantina begitu”, mulai sedikit berbeda. Mengankat alis. “Lah setelah dikarantina, nanti akan di kirim ke Maroko setahun, semacam kuliah singkat”, tambah beliau.
“Ow begitu Ustadz, terus apa yang bisa saya lakukan Ustadz mungkin nanti saya kabari teman-teman”, semakin bingung, dan fikiran mulai kemana-mana.
“Ndak usah, karena cuma satu yang dipilih ya kita pilih saja langsung, kami memilih antara sampean dan Ali Fikri”, Ali Fikri adalah juara kelas, sedangkan aku hanya bertengger di posisi ke tiga. Tapi kenapa aku yang ditelpon. Bukankah seharusnya yang urutan satu dulu. Kenapa langsung  tiga. “Sampean saya kasih waktu 5 menit untuk telpon orang tua langsung. Lah setelah itu, langsung kabari saya!”, super kaget setangah mati. Tidak pernah saya berfikir untuk ke Maroko negeri yang belum begitu aku kenal. Lagi pula baru saja aku 4 bulan menempah diri di Ma’had Ali. Bukan kah kakak kelas banyak yang secara intelektual, pemikiran, dan keilmuan agamnya jauh di atasku. Deretan pertanyaan yang rumit dan sementara harus aku simpan, karena aku harus menelepon ibu.
            “Assalamualaikum Bu!”,
            “Wa’alaikumsalamsalam, lapo nak?”,
            “Bu, aku ditawari sama sama mudir kuliah singkat setahun di Maroko. Semua biaya gratis plus biaya hidup, kecuali paspord. Kira-kira gimana niku buk?”, tanyaku sedikit ragu. Aku takut Ibu keberatan.
            “Oalah, ibu kwatir nak, wong timur tengah perang terus”, jawaban ibu sudah aku duga.
            “Setahuku se ndak buk, Maroko Aman”, mencoba meyakinkan, bukan ngarang, setahuku memang yang sedang konflik adalah Syiria, Mesir, Libya, dan Tunisia. Maroko walau aku tidak tau bagaimana itu Maroko, sepertinya masih aman.
            “Ngge pun gakpopo berangkato ae! Pyan kapan pulang?”, jawaban ibu membuat aku antara legah dan gugup. Aku tau ini akan menjadi jawaban kunci aku akan menuju sebuah Negara ujung barat dunia islam. aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Tak pernah tersirat dalam angan. Kejutan yang luar biasa. Keputusan besar yang aku buat selama hidupku hanya dalam waktu 10 menit saja. Luar biasa. 4 hari berangkat. Aku akan pulang sore ini untuk mengurus semua administras dan persyaratan. Aku akan meninggalkan keluarga, sahabat, kegiatan dan segala kesibukanku di jombang dan mojokerto, terlebih meninggalkan negeri ini untuk waktu setahun. Masih belum bisa membayangkan. Karena peristiwa mengejutkan ini masih hangat. Beranjak ke kelas dan meneruskan menguti pelajaran. Mengingat potongan perkataan imam Syafi’i “Berpetualanglah dalam mencari ilmu, maka kau akan menemukan, pengganati saudara dan sahabatmu”
Hari Rabu(Kejutan Ketiga)
            Hari-hari menjelang keberangkatan ke Jakarta terasa sangat berbeda dari biasanya. Pikiran lebih sering melamun dan terkadang masih merasa tak percaya, mimpi apa nyata. Menerjemahkan kata-kata lebih susah dari biasanya. Bahkan menjawab sapaan saja, membutuhkan berkali-kali sapa. Entah kenapa, mungkin karena berita yang terlalu mepet dan persiapan yang terburur-buru. Aku juga baru tau kalau ternyata ibu juga menjual perhiasan emas yang menanggunkannya. Aku ingin menolak, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Perjalanan menuju Jakarta tidak hanya butuh tenaga, financial harus sedia minimal 2 juta rupiah. Saat itu ibu sedang sepi dagangan dan pesanan ketring. Ayah juga belum gajian dari kantor. Tapi dengan raut haru mereka, menatapku dengan tatapan mantab, mengelusku dengan tatapan yakin, aku jadi tidak canggung menerima uang itu. Mungkin berkah perjuangan mereka ini, mengantarkan aku menuju keberhasialan kelak. Saat ini aku belum bisa membalas dan mengusap keringat mereka mendalam. Menatapnya saat ini sudah sangat bersyukur dan sebuah nikmat yang luar biasa, semoga masih bisa aku rasakan lebih lama.
            Aku harus berangkat ke kampus. Rencananaya aku akan mengikuti kuliah terakhir dan melakukan perpisahan dengan teman-teman, berpamitan dengan beberapa dosen dan pembesar pesantren. Aku juga sudah berpamitan ke ke pesantrenku yang sebelumnya, Al-amin Mojokerto. Perjalanan Mojokerto-Jombang di tempuh sekitar 45 menit dengan motor dengan kecepatan sedang hingga tinggi. Terkadang naluri mudaku muncul, sedikit ngebut karena jalanan yang sepi. Padahal diantara yang sepi terdapat celaka yang sembunyi, Naudzunbillahi min dzalik. Semoga aku tetep di jalan yang benar dan tidak maksiat fis safar.
            Pelajaran Shorof adalah pelajaran kampus terakhir yang akan aku ikuti jam 2 siang nanti . Tapi aku ke asrama dulu mau mengambil beberapa barang yang masih tersimpan di lemari. Di asrama temen-temen pada berkumpul di dalam. Waktu yang tepat untuk berpamitan sambil mengemasi barang-barang.
            Masuk pintu sudah ada si gemuk dari Lombok, Zul Hamdi, “Woy Kuwok,, jangan makan aja kamu disana. Perut mu rol”.
            “Hahaha sampyan itu, diingat makanan melulu, aku mau diet”, sangkalku dengan nada bergurau. Padahal entah aku bisa diet atau tidak.
Datang juga menghampiri, sahabatku 6 tahun lebih, sejak Mts. Dia yang paling megerti aku dan yang paling aku ngerti, Septian. “Tol(pentol, karena dia sangat kurus dan tinggi seperti bakso tusuk), pamit aku.”, kataku menepuk bahunya. Lalu disusul aku berpamitan dengan yang lain, Fahmi, Tahmad, Muhdi, Thorik, Raja “Medok” Hafidh, Wajid, kemudian si Ubaid yang sering banget konflik denganku, duo Madura, dan terakhir Kholid. Sebenarnya ada dua lagi, Ali dan Mr Misterius Maulida, tapi entah dia dimana. Aku hanya menitipkan salamku pada mereka berdua. Tiba-tiba Maulanida datang dengan muka masam, lebih masam dari biasanya. Datang menghampiriku.
“Kau melupakan sesuatu kawan”, kata dia dengan nada serius. Menimbulkan tarian tanda tanya di keliling kepala. Mungkinkah sebuah janji, sebuah benda, sebuah kata pesan dan pamit??????? Jawabanya ada di bawah ini.
“Tahu kau sekarang hari apa?”, dia bertanya hari, aku jawab Kamis. “Sekarang waktunya pelajaran apa dan ustadz siapa? Sekarang itu Shorof, Ustadz Syakir, materi Syifat Musyabbahah. Kita belum buat makalah”, aku terkaget-kaget, aku melupakan makalah untuk kedua kalinya. Naasnya aku di guru yang sama walau berbeda pelajaran. Ust Syakir memang sabar, tapi aku merasa mempermainkan beliau. Aku mengejarkan deatline makalah anggota kelas, aku melupakan tugasku sendiri. Istighfar berkali-kali.
Aku tetap berusaha menjadi laki-laki bertanggung jawab, meminta maaf dan melaksanakan apa yang aku laksanakan. Kami harus menerangkan materi tanpa makalah, Langsung dari kitab referensi dan itu sungguh sangat menguras otak. Tapi sekali lagi aku ingin menembusnya. Ini pelajaran terakhirku. Ustadz Syakir memang guru paling sabar yang pernah aku kenal. Selain itu cara menerangkannya pun mengena. Akhirya sampai batas waktu terakhir dan mencoba menjawab berbagai pertanyaan dari teman-teman yang cukup berkualitas dan membuat kami kualahan. Untung saja beliau mau membantu kami menjawabkan jika ada kemacetan.
Selesai pelajaran aku menuju ke kantor menyerahkan berkas-berkas yang harus aku kumpulkan. Ketika menemuai bagian administras, Ust Hamzah, beliau menyuruhku mengecek ATM, karena da kabar dari KEMENAG kalau uang beasiswa bagi ustadz dan Pembina pondok pesantren sudah di kirimkan. Sudah satu minggu yang lalu beberapa mahasantri ikut mendaftarkan program ini. Tentunya yang paling lengkap berkasnya itulah yang dikirim. Dari semua yang dikirim Tebuireng hanya kebagian 15 orang saja. 15 orang dari puluhan mahasantri. Dalam hati semoga saja aku dapat, untuk tambahan biaya ke Jakarta dan biaya pembuatan Paspord. Aku ingin membeli laptop, karena bagaimanapun juga aku perlu itu di zaman teknologi ini.
Dengan motor yang segera terjual ini, karena tidak ada yang memakainya. Menuju Mesin ATM Bang BRI tepat di depan kantor cabang Tebuireng. Segera aku buka ATM. Subhanallah segera aku mengambil wudhu dari air hujan yang sembari pagi terus mengguyur bumi kota santri. Tanpa berpikir panjang sujud syukur di depan Gerdu ATM dengan alas sarung yang aku jabarkan. Uang 5 juta itu sudah aku dapatkan. Walau 1.5 juta harus aku setorkan ke kantor untuk dibagi dengan para pengirim yang belum beruntung, aku anggap sebagai shodaqoh dan bancaan akbarku atas nikmat Allah ini. Aku jadi teringat denga perkataan Ustadz Aang, mudir pesantren AL-amin yang beberapa tahun lalu meninggal “Hidup adalah Perjuangan, Bukan Mencari Pengakuan”. Tidak sia-sia aku berhujan ria bolak-balik Jombang-Mojokerto untuk mengumpulkan berkas-berkas.


Dengan ini aku semakin mantab. Selain berangkat dari Maqolah Imamuna Asy-syarif Syekh Al-faqih Asy-Syafi’I rahimahullah, aku juga teringat dan selalu mengingat nasihat dari Ust Daud, salah satu Pembina asrama Ma’had Ali yang juga tempat aku selama ini menambah motivasi dan pelajaran hidup “Huna , tajidu uluman kastsiroh, lakin rubbama hunaka saufa tajidu aktsar” artinya “disini(Indonesia) kamu dapat menemukan banyak ilmu, tapi mungkin disana kamu bisa menemukan lebih banyak”. Besok, entah berkendara apa, bersama siapa? Aku katakana aku  berkendara rahmad dan perlindungan Allah dan bersamanya dalam setiap langkahku kemana aku pergi. Bismillah, wait me Morocco! Bi aunillah.

1 komentar: