Hari Minggu(Insya
Allah)
Bangun tidur, mandi, gosok gigi,
membersihkan kamar tidur. Bait lagu anak-anak yang dulu sekali aku kenal, dan
selalu teringat. Sangat kontra dengan sebuah lagu dari seorang seniman regee
nasional asal kota onde-onde Mojokerto, Mbah surip, “Bangun todur, tidur lagi.
tidur lagi bangun lagi,”. jika ditanya mana yang sekarang harus, entah terpaksa
atau terbiasa, aku lakukan di sebuah pondok pesantren besar, Pondok Pesantren
Tebuireng, ditambah lebel mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari yang menjadi
ikon pembesar dan senioritas disini, jelasnya aku akan mengatakan bait pertama
itu yang paling cocok. Bagaimana tidak? Jam 8 sudah masuk kuliah, dengan dosen
yang ekstra disiplin.
Kedewasaan dituntut disini, tak ada
lagi suara ustadz pesantren yang datang membawa sajadah “, bangun-bangun….!”,
tak ada teriakan ibu menejerit, “Abrorrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr!. Atau
tak ada siraman air pak kyai yang sidak membangunkan sholat shubuh para
santrinya.
“Brakkkk(suara sesuatu jatuh”,
terkaget aku dari tidurku yang hiper nyenyak. Sakit, sesuatu menjatuhiku.
Terbangun. Ya Allah, apa yang terjadi? Tidak ada yang terjadi. Aku hanya
bermimpi terjatuh dari tangga asrama dan terjatuh terbangun dihadang bidadari
surga. Malaikat Rahman sangat baik membangunkanku dengan tepat. Pukul setengah
8. Menarik ingatan. Hari ini hari minggu, pelajaran kalam dan hadist dengan
pengampuh Profesor Jamaluddin Mirry dosen fenomenal yang sangat tegas dan
disiplin. Tak ada cacing bagi burung pemalas. Tak ada ilmu bagi yang terlambat,
walau pasang muka “melas”.
“Is(red; rois = ketua, kebetulan
jadi ketua kelas), bangun, Kuliah nggak? Ingat is, sampean rois!”, kata si Zul
Hamdi(mahasantri dari Lombok), “Dasar Kwok”, panggilan dalam bahasa Lombok yang
artinya tukang tidur dan pemalas.
“Iya Zul, aku khilaf.
Astaghfirullah!”, bergegas aku bangun dan mandi. untuk saja kamar mandinya tak
ramai. Kamar mandi asrama sangat berkuatas dilengkapi shower+WC dan tempat
untuk bersikat gigi ria.
Jadwalku setiap pagi adalah setor
dari bank perut, cuma aku pikir-pikir lagi akan sangat memakan waktu. Coba aku
mulghokan jadwal tersebut untuk sementara waktu. Mengingat waktu sangat mepet
sekali. Terlihat mereka yang di kamar mandi pada berhamburan keluar. Yang di
kamar juga pada berlarian menenteng kitab-kitab dan tas kecil. Seperti rusa
yang kedatangan tamu singa, atau semut yang mencium bau gula.
Seger. Tapi kesegaran itu tak bisa
aku nikmati lebih dalam. Biasanya aq bisa menuju ke teras depan dibawah pohon Sono
dan duduk sambil menyambut pagi dan membaca Al-qur’an atau kitab-kitab untuk
murajaah. Untuk hari ini lagi-lagi harus aku mulghokan. Masuk kamar,
ternyata kamar sudah sepi. Pagi ini aku yang malas. Biasanya aku yang obrak-obrak
sekarang aku tertinggal kereta. Segera aku ganti baju menyiapkan buku
dan songkok nasional hitam. Untung saja
sudah sholat shubuh. Awal mula dari semua adalah memang karena tidur setelah
shubuh. Terkadang terpikir, memang tidur sehabis shubuh itu bisa
menghalangi segala rencana yang ada. Aku menjadi sadar, bahwa shubuh adalah
cerminan kedisiplinan dan konsistensi dalam islam untuk keselarasan segala
bentuk urusan dalam hari-hari seorang hamba. Sebuah spectrum pengurusan dalam
islam yang bagiku sangat sir(tersembunyi).
“Bror, kelas kamu dah masuk dari
tadi loh! Cepetan! “, sambar Bang Ipul, kakak kelas semester 3.
“Ya Bang, makasi! Entar jangan lupa
konci Motorku ya!”, kataku menyaut dari jauh, karena aku berjalan dengan tempo
yang lebih cepat dari biasanya.
Sampai di kampus, dag-dig-dug. Sudah
sembari tadi sambil jalan aku terus membayangkan Ust Jamal marah-marah. Waktu menunjukkan
jam 8 lebih 10 menit. Tapi apa yang terjadi? Satu kejutan yang luar biasa aku
temukan. Pagi cerah di tebuireng sungguh mengejutkan betapa bodohnya aku.
Berada di meja balik pintu melongo seperti monyet salah langkah. Bukan Ust
Jamal di depan para mahasantri, tapi Ust Hannan, Mudir Ma’had Aly dan dosen
mata kuliah kitab Muhadzab. Perlahan aku
ucapkan salam dan minta izin memasuki kelas. Kalau Ust Hannan kemungkinan besar
kalau tidak sampai kelewatan waktu, masih bisa diizini. Langsung duduk di kursi
tengah. Merapat ke Septian dan Mbah Wajid.
“Jid, bukane sekarang iku pak
jamal?”, tanyaku penasaran menjawab kebingungan.
“Lah, ngelindur ta?, sekarang iku
mas, hari senin, bukan minggu”. Jawab wajid sambil menahan tawa. Si Septian
juga terlihat meringis tipis. Apalagi si Zul Hamdi yang membangunkanku. Di
belakang, sudah terbahak-bahak tanpa suara dia. Sedangkan aku antara ingin
tertawa dan kesal. Ya Allah, tak ku kira, betapa takutnya aku dengan Ust Jamal sampai hari senin aku minggukan.
Elektabilitas dan ketegasan beliau menjadikan aku segan dengan beliau. Tidak
akan terlupakan.
Hari Selasa(Kejutan
ke dua)
Pagi di IKAHA(institut keislaman Hasyim Asy’ari) yang sedikit mendung,
beberapa hari matahari seperti enggan mewahyukan cahayanya ke bumi. Jemuranku
saja tidak kering-kering dua hari. Teras kamar setiap hari harus dibersihkan
karena cipratan air hujan yang super deras. Aku dan teman-teman kelas khusus
mahasantri Mahad Aly menunggu kehadiran ustadz. Mahad Ali belum legal secara
nasional sebagai pencetak sarjanah dan sekelas sekolah tinggi, melainkan masih
dicatat sebagai pondok pesantren. Padahal secara kualitas berani aku katakana
dia lebih baik dari universitas islam sekalipun. Kuliah di Mahad Ali serasa
kita ada di Al-Azhar Mesir atau Al-Azhar di pindah di Jombang. Karena bahasa
pengantarnya adalah bahasa Arab dengan dosen-dosen yang sebagian besar lulusan
timur tengah, seperti Al-Azhar, Ummul Quro, bahkan ada yang lulusan Afrika
Selatan. Ada juga seorang utusan dari Al-Azhar yang secara khusus didatangkan
dari Mesir untuk membantu mengajar di Tebuireng dan Mahad Ali, yaitu
Hafidhohullah Syekh Khidir Ibrahim.
“Yan, ki Ustadze gak hadir paling”, tanya Hafidz, mahasantri asal Malang
yang super medok bicaranya kepada Septian selaku ketua Kosma dengan pasang muka berharap.
“Yo ek yan, gmn nie? Apa pulang?”, dari
belakang muncul si cerewet rifdah.
“Sabar ya, rek, dateng kok!”, jawab
Septian dengan Gayanya yang tenang.
Dari ujung timur, seorang berpakaian batik usia yang sudah menua. Beliau
adalah Ust Abdul Aziz, dosen ilmu pengantar hukum. Kita, angkatan baru di Mahad
Ali semua terdaftar di IKAHA dalam jurusan Akhwal Syakhsyiah. Sebenarnya aku
lebih memilih ekonomi syariah. Tapi karena memang ketika votting dimenangkan
oleh jurusan AS.
Belajar ilmu pengantar hukum, seperti belajar ilmu PPKN di Madrasah.
Cuma pembahasannya lebih kompleks dan sedikit lebih berat. Walau masih berat
pelajaran Kalam sebenarnya. Apalagi dengan gaya pengajaran Ust Jamal yang
memaksa kita menguras otak dan terkadang mengporak-porandakan pemahaman kalam
kita sebelumnya. Bahkan ada yang ekstrim mengatakan setelah pelajaran Kalam,
sebaiknya membaca syahadat. Sampai seekstrim itu.
“Jadi anak-anak, pancasila yang menjadi dasar Negara itu pernah
diributkan oleh berbagai kalangan. Antara yang pro dan yang kontra.
Eksistensinya juga pernah terkoyak oleh pemberontakan DI TII dan PKI”, Ust
Abdul Aziz menerangkan di depan dengan gaya beliau yang sederhana dan santai.
“Dretttt…dretttttt” Hp-ku bergetar dan suaranya semakin kencang karena
gesekan dengan meja. Ketika aku baca, telpon itu dari Ustadz Hannan. Waduh
waktunya kurang tepat kali ini beliau telpon. Tapi mau bagaimana lagi, harus aku
angkat. Aku meminta izin ke Ust Abdul Aziz dan beliau mengizinkan. Menuju ke
luar kelas dan memulai percakapan.
“Assalamuaikum Ust!”, salam pembuka.
“Wa’laikumsalam Warohmatullah, Abror gimana kabarnya?”, jawab beliau
disusul menanyakan kabar.
“Alhamdulillah bi khoir Ustadz. Ada apa ini Ustadz? Ada yang bisa saya
bantu?”, tanyaku penasaran. Kemungkinan, kalau tidak disuruh ke kampus karena
urusan kelas atau ada pemberitahuan khusus tentang bebera hal terkait kampus.
“Lagi dimana Abror?”.
“lagi di kampus IKAHA, Ustadz”.
“Oya, begini Abror kita dapat jatah dari PBNU untuk mengirimkan satu
delegasi ke Jakarta mengikuti training Bahasa Arab semacam karantina begitu”,
mulai sedikit berbeda. Mengankat alis. “Lah setelah dikarantina, nanti akan di
kirim ke Maroko setahun, semacam kuliah singkat”, tambah beliau.
“Ow begitu Ustadz, terus apa yang bisa saya lakukan Ustadz mungkin nanti
saya kabari teman-teman”, semakin bingung, dan fikiran mulai kemana-mana.
“Ndak usah, karena cuma satu yang dipilih ya kita pilih saja langsung,
kami memilih antara sampean dan Ali Fikri”, Ali Fikri adalah juara kelas,
sedangkan aku hanya bertengger di posisi ke tiga. Tapi kenapa aku yang
ditelpon. Bukankah seharusnya yang urutan satu dulu. Kenapa langsung tiga. “Sampean saya kasih waktu 5 menit untuk
telpon orang tua langsung. Lah setelah itu, langsung kabari saya!”, super kaget
setangah mati. Tidak pernah saya berfikir untuk ke Maroko negeri yang belum
begitu aku kenal. Lagi pula baru saja aku 4 bulan menempah diri di Ma’had Ali.
Bukan kah kakak kelas banyak yang secara intelektual, pemikiran, dan keilmuan
agamnya jauh di atasku. Deretan pertanyaan yang rumit dan sementara harus aku
simpan, karena aku harus menelepon ibu.
“Assalamualaikum Bu!”,
“Wa’alaikumsalamsalam, lapo nak?”,
“Bu, aku ditawari sama sama mudir
kuliah singkat setahun di Maroko. Semua biaya gratis plus biaya hidup, kecuali
paspord. Kira-kira gimana niku buk?”, tanyaku sedikit ragu. Aku takut Ibu
keberatan.
“Oalah, ibu kwatir nak, wong timur
tengah perang terus”, jawaban ibu sudah aku duga.
“Setahuku se ndak buk, Maroko Aman”,
mencoba meyakinkan, bukan ngarang, setahuku memang yang sedang konflik adalah
Syiria, Mesir, Libya, dan Tunisia. Maroko walau aku tidak tau bagaimana itu
Maroko, sepertinya masih aman.
“Ngge pun gakpopo berangkato ae!
Pyan kapan pulang?”, jawaban ibu membuat aku antara legah dan gugup. Aku tau
ini akan menjadi jawaban kunci aku akan menuju sebuah Negara ujung barat dunia
islam. aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Tak pernah tersirat dalam angan.
Kejutan yang luar biasa. Keputusan besar yang aku buat selama hidupku hanya
dalam waktu 10 menit saja. Luar biasa. 4 hari berangkat. Aku akan pulang sore
ini untuk mengurus semua administras dan persyaratan. Aku akan meninggalkan keluarga,
sahabat, kegiatan dan segala kesibukanku di jombang dan mojokerto, terlebih
meninggalkan negeri ini untuk waktu setahun. Masih belum bisa membayangkan.
Karena peristiwa mengejutkan ini masih hangat. Beranjak ke kelas dan meneruskan
menguti pelajaran. Mengingat potongan perkataan imam Syafi’i “Berpetualanglah
dalam mencari ilmu, maka kau akan menemukan, pengganati saudara dan sahabatmu”
Hari Rabu(Kejutan
Ketiga)
Hari-hari menjelang keberangkatan ke
Jakarta terasa sangat berbeda dari biasanya. Pikiran lebih sering melamun dan
terkadang masih merasa tak percaya, mimpi apa nyata. Menerjemahkan kata-kata
lebih susah dari biasanya. Bahkan menjawab sapaan saja, membutuhkan
berkali-kali sapa. Entah kenapa, mungkin karena berita yang terlalu mepet dan
persiapan yang terburur-buru. Aku juga baru tau kalau ternyata ibu juga menjual
perhiasan emas yang menanggunkannya. Aku ingin menolak, tapi aku tak bisa
berbuat apa-apa. Perjalanan menuju Jakarta tidak hanya butuh tenaga, financial
harus sedia minimal 2 juta rupiah. Saat itu ibu sedang sepi dagangan dan
pesanan ketring. Ayah juga belum gajian dari kantor. Tapi dengan raut haru
mereka, menatapku dengan tatapan mantab, mengelusku dengan tatapan yakin, aku
jadi tidak canggung menerima uang itu. Mungkin berkah perjuangan mereka ini,
mengantarkan aku menuju keberhasialan kelak. Saat ini aku belum bisa membalas
dan mengusap keringat mereka mendalam. Menatapnya saat ini sudah sangat
bersyukur dan sebuah nikmat yang luar biasa, semoga masih bisa aku rasakan
lebih lama.
Aku harus berangkat ke kampus.
Rencananaya aku akan mengikuti kuliah terakhir dan melakukan perpisahan dengan
teman-teman, berpamitan dengan beberapa dosen dan pembesar pesantren. Aku juga
sudah berpamitan ke ke pesantrenku yang sebelumnya, Al-amin Mojokerto.
Perjalanan Mojokerto-Jombang di tempuh sekitar 45 menit dengan motor dengan
kecepatan sedang hingga tinggi. Terkadang naluri mudaku muncul, sedikit ngebut
karena jalanan yang sepi. Padahal diantara yang sepi terdapat celaka yang
sembunyi, Naudzunbillahi min dzalik. Semoga aku tetep di jalan yang benar dan
tidak maksiat fis safar.
Pelajaran Shorof adalah pelajaran
kampus terakhir yang akan aku ikuti jam 2 siang nanti . Tapi aku ke asrama dulu
mau mengambil beberapa barang yang masih tersimpan di lemari. Di asrama
temen-temen pada berkumpul di dalam. Waktu yang tepat untuk berpamitan sambil
mengemasi barang-barang.
Masuk pintu sudah ada si gemuk dari
Lombok, Zul Hamdi, “Woy Kuwok,, jangan makan aja kamu disana. Perut mu rol”.
“Hahaha sampyan itu, diingat makanan
melulu, aku mau diet”, sangkalku dengan nada bergurau. Padahal entah aku bisa
diet atau tidak.
Datang juga menghampiri, sahabatku 6 tahun lebih, sejak Mts. Dia yang
paling megerti aku dan yang paling aku ngerti, Septian. “Tol(pentol, karena dia
sangat kurus dan tinggi seperti bakso tusuk), pamit aku.”, kataku menepuk
bahunya. Lalu disusul aku berpamitan dengan yang lain, Fahmi, Tahmad, Muhdi,
Thorik, Raja “Medok” Hafidh, Wajid, kemudian si Ubaid yang sering banget
konflik denganku, duo Madura, dan terakhir Kholid. Sebenarnya ada dua lagi, Ali
dan Mr Misterius Maulida, tapi entah dia dimana. Aku hanya menitipkan salamku
pada mereka berdua. Tiba-tiba Maulanida datang dengan muka masam, lebih masam
dari biasanya. Datang menghampiriku.
“Kau melupakan sesuatu kawan”, kata dia dengan nada serius. Menimbulkan
tarian tanda tanya di keliling kepala. Mungkinkah sebuah janji, sebuah benda,
sebuah kata pesan dan pamit??????? Jawabanya ada di bawah ini.
“Tahu kau sekarang hari apa?”, dia bertanya hari, aku jawab Kamis.
“Sekarang waktunya pelajaran apa dan ustadz siapa? Sekarang itu Shorof, Ustadz
Syakir, materi Syifat Musyabbahah. Kita belum buat makalah”, aku
terkaget-kaget, aku melupakan makalah untuk kedua kalinya. Naasnya aku di guru
yang sama walau berbeda pelajaran. Ust Syakir memang sabar, tapi aku merasa
mempermainkan beliau. Aku mengejarkan deatline makalah anggota kelas, aku
melupakan tugasku sendiri. Istighfar berkali-kali.
Aku tetap berusaha menjadi laki-laki bertanggung jawab, meminta maaf dan
melaksanakan apa yang aku laksanakan. Kami harus menerangkan materi tanpa
makalah, Langsung dari kitab referensi dan itu sungguh sangat menguras otak.
Tapi sekali lagi aku ingin menembusnya. Ini pelajaran terakhirku. Ustadz Syakir
memang guru paling sabar yang pernah aku kenal. Selain itu cara menerangkannya
pun mengena. Akhirya sampai batas waktu terakhir dan mencoba menjawab berbagai
pertanyaan dari teman-teman yang cukup berkualitas dan membuat kami kualahan.
Untung saja beliau mau membantu kami menjawabkan jika ada kemacetan.
Selesai pelajaran aku menuju ke kantor menyerahkan berkas-berkas yang
harus aku kumpulkan. Ketika menemuai bagian administras, Ust Hamzah, beliau
menyuruhku mengecek ATM, karena da kabar dari KEMENAG kalau uang beasiswa bagi
ustadz dan Pembina pondok pesantren sudah di kirimkan. Sudah satu minggu yang
lalu beberapa mahasantri ikut mendaftarkan program ini. Tentunya yang paling
lengkap berkasnya itulah yang dikirim. Dari semua yang dikirim Tebuireng hanya
kebagian 15 orang saja. 15 orang dari puluhan mahasantri. Dalam hati semoga
saja aku dapat, untuk tambahan biaya ke Jakarta dan biaya pembuatan Paspord.
Aku ingin membeli laptop, karena bagaimanapun juga aku perlu itu di zaman
teknologi ini.
Dengan motor yang segera terjual ini, karena tidak ada yang memakainya.
Menuju Mesin ATM Bang BRI tepat di depan kantor cabang Tebuireng. Segera aku
buka ATM. Subhanallah segera aku mengambil wudhu dari air hujan yang sembari
pagi terus mengguyur bumi kota santri. Tanpa berpikir panjang sujud syukur di
depan Gerdu ATM dengan alas sarung yang aku jabarkan. Uang 5 juta itu sudah aku
dapatkan. Walau 1.5 juta harus aku setorkan ke kantor untuk dibagi dengan para
pengirim yang belum beruntung, aku anggap sebagai shodaqoh dan bancaan akbarku
atas nikmat Allah ini. Aku jadi teringat denga perkataan Ustadz Aang, mudir
pesantren AL-amin yang beberapa tahun lalu meninggal “Hidup adalah Perjuangan,
Bukan Mencari Pengakuan”. Tidak sia-sia aku berhujan ria bolak-balik
Jombang-Mojokerto untuk mengumpulkan berkas-berkas.
Dengan ini aku semakin mantab. Selain berangkat dari Maqolah Imamuna
Asy-syarif Syekh Al-faqih Asy-Syafi’I rahimahullah, aku juga teringat dan
selalu mengingat nasihat dari Ust Daud, salah satu Pembina asrama Ma’had Ali
yang juga tempat aku selama ini menambah motivasi dan pelajaran hidup “Huna ,
tajidu uluman kastsiroh, lakin rubbama hunaka saufa tajidu aktsar” artinya
“disini(Indonesia) kamu dapat menemukan banyak ilmu, tapi mungkin disana kamu
bisa menemukan lebih banyak”. Besok, entah berkendara apa, bersama siapa? Aku
katakana aku berkendara rahmad dan
perlindungan Allah dan bersamanya dalam setiap langkahku kemana aku pergi. Bismillah,
wait me Morocco! Bi aunillah.
cerita ini bagus, jadi inspirasi
BalasHapus