Minggu, 16 November 2014

Jihad Ideal


Dewasa ini atas nama jihad digaungkan di penjuru dunia. Bendera-bendera bertuliskan asma Tuhan dan kesaksian atas kerasulan Muhammad dikibarkan di beberapa aksi demonstrasi dan pertempuran antar kelompok, etnis, sekte dalam islam. Baru-baru ini di Irak dan Suriah didirikan kelompok oposisi ISIS dengan mengaku sebagai garda sunni untuk membumi hanguskan pemerintahan Syiah. Di Pakistan dab Afganistan juga masih berpolemik dengan konflik berkedok jihad islam berkepanjangan sejak era perang dunia. Minggu ini, gempar lagi pemberitaan tentang Pelestina yang digempur Israel habis-habisan.
Jihad selalu dibawa pada arti saling membunuh, berperang, konflik, dan justifikasi buta atas salah dan benar secara radikal. Hal itu sama sekali jauh dari kebenaran dan realitas. Arti kata islam sendiri berarti kedamaian dan semua usaha dan uapaya kita sewajarnya diarahkan kepada penciptaan kedamaian sertra harmoni di antara kita dalam konteks komunitas dan masyarakat secara menyeluruh.

Dalam al-Qur’an terdapat dua tipe dalam penyebutan jihad, yang pertama jihad fi sabilillah dan kedua jihad fi Allah. Yang pertama berarti berjuang di jalan Allah, yaitu memerangi musuh kebenaran dan berjuang keras membela agama ini. Yang kedua, berarti berjuang demi Allah, memiliki nilai rohani dan spiritual yang lebih dalam dan meluas. Segala apa yang bisa dikerjakan untuk diri sendiri maupun sesamanya demi mendapatkan keridhaan, mendekatan diri pada-Nya dengan segala penuh rasa pengabdian.
Dari kedua tipe itu, saya kira tidaklah benar serta merta jihad diusung hanya dalam konteks peperangan dan perkelahian demi membela Allah. Jihad selalu diartikan dalam konotasi kasar, keras, radikal bahkan bengis. Tidak hanya berperang melawan non-islam bahkan sesame umat muslim saling berperang dengan kibaran bendera yang sama. Sebuah pembalikan substansi yang membawa islam pada wajah buruk dan citra angker.
Sebagai apa kita, berprofersi apa, dan dimana kita tak menyulitkan kita untuk berjihad. Petani berjihad demi tumpukan lumbung pangan masyarakat, dokter mengobati pasienya, presiden menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan komitmen, bahkan menguntai tinta diatas kertas bisa jadi adalah jihad penting. Seluruh potensi yang ada dalam diri kita, ada dalam lingkungan kita adalah potensial sekali untuk dipakai sebagai alat berjihad.
Dari situ bisa dibagi jihad itu menjadi tiga:
1.       Jihad melawan hawa nafsu, melawan keegoisan dan kebrutalan diri dengan kecenderungan melakukan tindak kejahatan.
2.       Jihad dengan segala kemampuan diri, entah dibidang sosial, jurnalistik, dakwah, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
3.       Jihad melawan kebathilan. Termasuk didalamnya adalah jihad membela diri.
Banyak orang memposisikan jihad ketiga sebagai jihad utama seolah-olah itulah esensi keislaman yang digaungkan kanjeng Nabi SAW. Sehingga masyarakat dunia, menilai islam sebagai agama teroris, barbar, keras dan tidak beradab. Mengorbankan banyak nyawa, perusakan fasilitas umum, menimbulkan kemiskinan dan kepedihan mendalam. Padahal Rasul sendiri mematri jihad yang pertama sebagai jihad besar. Melawan hawa nafsu, keegoisan, dan kecenderungan berbuat jahat adalah paling prioritas digemakan oleh Rasulullah.
Rasulullah menuntut kita bersikap cerdik, tenang, sabar dan politis dalam setiap kali berhadapan dengan musuh. Berperang pun Nabi tidak grusak-grusuk membabi buta. Ada etika yang selalu dijunjung beliau. Ini menandakan Nabi umat islam sendiri selalu berusaha mengarahkan pada perdamaian dan menghindari peperangan. Kemudian para radikalis, teroris, dan orang-orang jumud itu menganut madzhab jihad pada rasul yang mana?
Dalam konteks perang Timur Tengah agaknya masih premature jika kita anggap sebagai perang atas nama agama. Konflik Palestina dan Israel dalam sejarahnya, dipicu oleh perebutan wilayah, pengaruh dan penakuan internatioanal secara politis, bukan karena Israel Yahudi dan Palestina adalah mayoritas muslim. Lebih pada semangat nasionalisme bukan spiritualisme. Rakyat pelstina terlunta karena mereka ingin mempertahankan tanah mereka, sedangkan Israel ingin mengambil tanah mereka kembali yang dulu pernah menjadi rumah mereka era babylonia.
Berusaha menanggapi dari segi kemanusiaan saya kira itu lebih bijak dari pada kita menyerukan kecaman-kecaman tidak jelas, seruan JIHAD, dan bahkan mendesak pemerintah mengirimkan pasukan untuk ikut berperang. Baru-baru ini, ISIS sudah menancapkan pengaruhnya di Indonesia.  Ada kabar bahwa organisasi yang secara mengejutkan menguasi sebagian besar kota-kota penting di Irak itu sudah mendapatkan dukungan dari beberapa kelompok radikal Indonesia seperti seperti Komunitas Umat Islam Bekasi (KUIB), JAT pimpinan Abu Bakar Ba’asyir , FAKSI, dan MMI. Bahkan ada isu diadakan pertemuan dan seminar di Malang.
Konsentrasi yang salah arah ini, seharusnya kita balikan pada makna jihad yang sebenarnya. Masih banyak problematika yang dialami oleh dunia islam yang seharusnya menjadi perhatian khusus. Kerja sosial, memperbaiki ekonomi umat islam, mengoptimalkan zakat dan shadaqah. Seperti kita tahu bahwa 70% orang miskin dunia adalah orang islam yang tersebar di berbagai Negara-negara islam. Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia juga masih dirundung permasalah tersebut. Akankah harus ditutupi dan diperparah dengan adanya jihad-jihad kecil itu?
Terkadang manusia memang cenderung dibutakan oleh kilasan sebuah doktrin buta. Secara mentah mencernah dan secara brutal menguntal doktrin itu sebagai pedoman dan arah tujuan hidup. Tidak masalah jika memang hanya untuk pribadi masing-masing, tapi akan sangat berbahaya jika kemudian disebarkan dan menjaring masa untuk merusak kedamaian dan tatanan sosial yang adem ayem.
Untuk itu, kawan-kawan, kalau ada sebuah ketenangan dan kedamaian mengapa kita berburu api untuk dibakar secara masal. Kalau ada secercah harapan untuk bersikap cerdik dan bijak, kenapa harus ada senjata dan darah. Keindahan islam digambar dan diwarnai dengan corak muram dan hitam. Kalau terus begini, Rahmatan lil alamin akan hanya sampai pada teori.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar