Dewasa ini atas
nama jihad digaungkan di penjuru dunia. Bendera-bendera bertuliskan asma Tuhan
dan kesaksian atas kerasulan Muhammad dikibarkan di beberapa aksi demonstrasi
dan pertempuran antar kelompok, etnis, sekte dalam islam. Baru-baru ini di Irak
dan Suriah didirikan kelompok oposisi ISIS dengan mengaku sebagai garda sunni
untuk membumi hanguskan pemerintahan Syiah. Di Pakistan dab Afganistan juga
masih berpolemik dengan konflik berkedok jihad islam berkepanjangan sejak era
perang dunia. Minggu ini, gempar lagi pemberitaan tentang Pelestina yang
digempur Israel habis-habisan.
Jihad selalu
dibawa pada arti saling membunuh, berperang, konflik, dan justifikasi buta atas
salah dan benar secara radikal. Hal itu sama sekali jauh dari kebenaran dan
realitas. Arti kata islam sendiri berarti kedamaian dan semua usaha dan uapaya
kita sewajarnya diarahkan kepada penciptaan kedamaian sertra harmoni di antara
kita dalam konteks komunitas dan masyarakat secara menyeluruh.
Dalam al-Qur’an
terdapat dua tipe dalam penyebutan jihad, yang pertama jihad fi sabilillah dan
kedua jihad fi Allah. Yang pertama berarti berjuang di jalan Allah, yaitu
memerangi musuh kebenaran dan berjuang keras membela agama ini. Yang kedua,
berarti berjuang demi Allah, memiliki nilai rohani dan spiritual yang lebih
dalam dan meluas. Segala apa yang bisa dikerjakan untuk diri sendiri maupun
sesamanya demi mendapatkan keridhaan, mendekatan diri pada-Nya dengan segala penuh
rasa pengabdian.
Dari kedua tipe
itu, saya kira tidaklah benar serta merta jihad diusung hanya dalam konteks
peperangan dan perkelahian demi membela Allah. Jihad selalu diartikan dalam
konotasi kasar, keras, radikal bahkan bengis. Tidak hanya berperang melawan
non-islam bahkan sesame umat muslim saling berperang dengan kibaran bendera
yang sama. Sebuah pembalikan substansi yang membawa islam pada wajah buruk dan
citra angker.
Sebagai apa
kita, berprofersi apa, dan dimana kita tak menyulitkan kita untuk berjihad.
Petani berjihad demi tumpukan lumbung pangan masyarakat, dokter mengobati
pasienya, presiden menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan komitmen,
bahkan menguntai tinta diatas kertas bisa jadi adalah jihad penting. Seluruh
potensi yang ada dalam diri kita, ada dalam lingkungan kita adalah potensial
sekali untuk dipakai sebagai alat berjihad.
Dari situ bisa
dibagi jihad itu menjadi tiga:
1.
Jihad
melawan hawa nafsu, melawan keegoisan dan kebrutalan diri dengan kecenderungan
melakukan tindak kejahatan.
2.
Jihad
dengan segala kemampuan diri, entah dibidang sosial, jurnalistik, dakwah,
ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
3.
Jihad
melawan kebathilan. Termasuk didalamnya adalah jihad membela diri.
Banyak orang
memposisikan jihad ketiga sebagai jihad utama seolah-olah itulah esensi
keislaman yang digaungkan kanjeng Nabi SAW. Sehingga masyarakat dunia, menilai
islam sebagai agama teroris, barbar, keras dan tidak beradab. Mengorbankan
banyak nyawa, perusakan fasilitas umum, menimbulkan kemiskinan dan kepedihan
mendalam. Padahal Rasul sendiri mematri jihad yang pertama sebagai jihad besar.
Melawan hawa nafsu, keegoisan, dan kecenderungan berbuat jahat adalah paling
prioritas digemakan oleh Rasulullah.
Rasulullah
menuntut kita bersikap cerdik, tenang, sabar dan politis dalam setiap kali
berhadapan dengan musuh. Berperang pun Nabi tidak grusak-grusuk membabi buta.
Ada etika yang selalu dijunjung beliau. Ini menandakan Nabi umat islam sendiri
selalu berusaha mengarahkan pada perdamaian dan menghindari peperangan. Kemudian
para radikalis, teroris, dan orang-orang jumud itu menganut madzhab jihad pada
rasul yang mana?
Dalam konteks
perang Timur Tengah agaknya masih premature jika kita anggap sebagai perang
atas nama agama. Konflik Palestina dan Israel dalam sejarahnya, dipicu oleh
perebutan wilayah, pengaruh dan penakuan internatioanal secara politis, bukan
karena Israel Yahudi dan Palestina adalah mayoritas muslim. Lebih pada semangat
nasionalisme bukan spiritualisme. Rakyat pelstina terlunta karena mereka ingin
mempertahankan tanah mereka, sedangkan Israel ingin mengambil tanah mereka
kembali yang dulu pernah menjadi rumah mereka era babylonia.
Berusaha
menanggapi dari segi kemanusiaan saya kira itu lebih bijak dari pada kita
menyerukan kecaman-kecaman tidak jelas, seruan JIHAD, dan bahkan mendesak
pemerintah mengirimkan pasukan untuk ikut berperang. Baru-baru ini, ISIS sudah
menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Ada
kabar bahwa organisasi yang secara mengejutkan menguasi sebagian besar
kota-kota penting di Irak itu sudah mendapatkan dukungan dari beberapa kelompok
radikal Indonesia seperti seperti Komunitas Umat Islam Bekasi
(KUIB), JAT pimpinan Abu Bakar Ba’asyir , FAKSI, dan MMI. Bahkan ada isu
diadakan pertemuan dan seminar di Malang.
Konsentrasi
yang salah arah ini, seharusnya kita balikan pada makna jihad yang sebenarnya.
Masih banyak problematika yang dialami oleh dunia islam yang seharusnya menjadi
perhatian khusus. Kerja sosial, memperbaiki ekonomi umat islam, mengoptimalkan
zakat dan shadaqah. Seperti kita tahu bahwa 70% orang miskin dunia adalah orang
islam yang tersebar di berbagai Negara-negara islam. Indonesia sebagai Negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia juga masih dirundung permasalah tersebut.
Akankah harus ditutupi dan diperparah dengan adanya jihad-jihad kecil itu?
Terkadang
manusia memang cenderung dibutakan oleh kilasan sebuah doktrin buta. Secara
mentah mencernah dan secara brutal menguntal doktrin itu sebagai pedoman dan
arah tujuan hidup. Tidak masalah jika memang hanya untuk pribadi masing-masing,
tapi akan sangat berbahaya jika kemudian disebarkan dan menjaring masa untuk
merusak kedamaian dan tatanan sosial yang adem ayem.
Untuk itu,
kawan-kawan, kalau ada sebuah ketenangan dan kedamaian mengapa kita berburu api
untuk dibakar secara masal. Kalau ada secercah harapan untuk bersikap cerdik
dan bijak, kenapa harus ada senjata dan darah. Keindahan islam digambar dan
diwarnai dengan corak muram dan hitam. Kalau terus begini, Rahmatan lil alamin akan hanya sampai pada teori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar