Tentang Maroko
Tak banyak yang melirik, sebuh
negeri kaya peradaban di ujung utara barat Afrika. Negeri para petualang dan
kenyang dengan sejarah peradaban dunia. Maroko, negeri dikelilingi benteng-benteng
besar di pesisir Samudra Atlantik dan Laut Mediterania sehingga dijuluki negeri
seribu benteng. Negeri itu pula berada
di ujung barat dunia islam sehingga disebut Maghrib atau Negeri Senja.
Negara dengan populasi muslim 98%
tersebut, memiliki sejarah yang sangat panjang sampai akhirnya sekarang menjadi
kerajaan islam parlementer yang moderat dan jauh dari kata konflik besar. sejak
pra islam negeri itu beberapa kali berada dalam kekuasaan beberapa bangsa.
Mulai dari bangsa Fenesia, bangsa Romawi, bangsa vandal sampai akhirnya
gubernur Mesir, Musa Bin Nusair melalui panglimannya Thariq bin Ziyad atas
perintah Khalifah al-Walid I bin Abdul Malik (705-715), Khalifah keenam Dinasti
Umayyah, berhasil secara menyeluruh menguasai wilayah negera-negara Afrika
Utara termasuk Maroko. Dan disinilah pijakan awal Thariq bin Ziyad untuk
menjamah tanah Andalusia. Kemudian secara estafet diambil alih oleh kekhalifahan-kekhalifahan kecil seperti Idrisit, Fatimit,
al-Murabithun, al-Muwahidun, Marinit, Wattasit, Saadi dan sekarang Alawiyah.
Islam terus berkembang di Maroko sampai
pada akhirnya datang penjajah Prancis dan Spanyol yang berkolonisasi menguasai
Maroko pada tahun 1904 dan membagi Maroko menjadi dua, pengaruh Prancis di Utara dan Spanyol di Selatan yang
kemudian kita kenal sekarang dengan Kerajaan Maroko dan Republik demokratik
Arab Sahrawi. Dua kubu ini yang sampai sekarang berserteru saling mengklaim
kekuasaan di Selatan.
Tahun 1999, Raja Hassan II meninggal dan
digantikan oleh Sang Putra Mahkota, Muhammad VI. Raja lulusan Eropa ini benar
melakukan perubahan dan merubah wajah Maroko menjadi lebih modern dan mentransformasikan
islam kepada kemoderatan. Peradaban tiga
bangsa di masa lalu Arab, Afrika, dan Eropa, mempermudah Maroko menerima arus
modernisasi. Darah Ham yang pekerja Keras, Sam yang loyal, serta darah Yafet
yang cerdas dan diplomatis, sangat kental dan menjadi ciri khas masyarakat
Maroko.
Maroko
sangat memperhatikan pendidikan dan pemikiran. Sekolah gratis benar-benar
terlaksana, pengembangan universitas-universitas, pendidikan islam juga sangat
di perhatikan. Muncul para intelektual muslim yang diperhitungkan di dunia,
seperti Abid al-Jabiri, Musthafa al-Qomari, Mohamed Allal al-Fassi dan Ahmed Sattati. Kita juga
mengenal pakar maqashid syariah, Dr Raisuni, ahli bahasa arab pengarang kitab
al-Ajurumiyah, Imam Sonhaji, petualang dunia, Ibnu Battutah dan masih banyak lagi yang tidak bisa
disebutkan semua dalam tulisan ini. Ini menandakan memang kebebasan berpikir,
tradisi kajian keilmuan memang benar-benar menjadi garapan khusus. Tidak heran
jika kita sampai menemukan gelandangan yang hafal qur’an, pengemis yang hafal
hadist, pekerja kasar yang faqih, atau seorang pedagang yang menjelaskan
masalah muamalah pada pembeli, bahkan orang gila yang berkhutbah.
Memegang Kuat Tradisi
Tetapi,
diantara geliat modernisasi, kebebasan berpikir, keluar masuknya pengaruh
pemikiran barat, yang unik, masyarakat Maroko masih menjaga budaya dan tradisinya
dengan baik. Kalau boleh dimiripkan, islam di Maroko tidak jauh berbeda dengan
islam di Indonesia. Kepercayaan pada doa yang bermanfaat bagi mayit, masyarakat
masih percaya dengan hal-hal berbau mistis cukup tinggi, juga sangat membanggakan
cara berpakaian, cara bertamu dan menerima tamu.
Ada yang menarik, ada tradisi-tradisi yang
sangat mirip dengan tradisi yang berkembang di Indonesia, seperti upacara
selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari dan setahun kematian seseorang. Dalam upcara
tersebut ada dzikir yang kalau dalam tradisi kita ada istighosah dan tahlil,
yang disebut zardah dan salkah dalam bahasa Darijah(dialek
mereka). juga ada makan bersama melingkar dengan gandum berwarna kuning dan ayam yang ditaruh di
tengah-tengahnya, disebut kus-kus. ini sama dengan kenduren dan tradisi
"Ambeng" dengan nasi kuning.
Ziarah
Kubur juga menjadi pemandangan biasa
disana. Kuburan para Auliya’ dan Ulama’ masih terawat. Misalkan saja di Kota
Marakech, ada makam Sab’atur RIjal yaitu tujuh ulama’ besar penyebar agama
islam di Maroko. Mereka adalah Abu Abas al-Sabti, Qodhi Iyadh, pengarang kitab
Al-Syifa’, Ibnu Sulaiman al-Jazuli, pengarang Dalailul Khairat, al-Ghozwani
Maula al-Qushur, Sidi Yusuf Ibnu ‘Aly, Imam al-Sahili, dan Abdul Aziz al-Tibba’.
Makam
mereka tidak pernah sepi peziarah. Mengingatkan kita pada fenomena yang biasa
dijumpai di makam-makam para auliya dan ulama seperti Wali Songo. Uniknya
sebagaimana makam para sunan di Jawa, di setiap makam para ulama’ tersebut juga
berdiri pasar-pasar yang sangat ramai. Makam-makam
tersebut sebelumnya terpisah bahkan berada di luar Maroko, diambil dan
dikuburkan di satu kota atas perintah sang Raja. Tentu ini sangat memudahkan
masyarakat menziarahi makam-makam tersebut.
Toleransi Beragama Tinggi
Sebagai
Negara Arab Islam, Maroko bisa dikatakan paling sukses menjaga toleransi
beragama. Penganut Khatolik, Yahudi, dan agama lain selain islam yang merupakan
agama resmi kerajaan, sangat aman terjaga. Bahkan terkadang ada kerjasama sosial
diantar agama-agama tersebut. Pemukiman-pemukiman Kristen Khatolik dan
komunitas Ortodok juga dijaga dengan aman. Penduduk Yahudi juga dijamin tanpa
ada gangguan. Bahkan sekitar
3.000 orang Syiah Maroko bisa berserikat secara bebas, dan telah mendirikan
organisasi-organisasi seperti Organisation of Moroccan Shi’ites, Attawassoul
Association di kota al-Hasyim, Al Inbiaat Association di Tangier, dan Al Ghadir
Association di Meknes. Mereka pun tak pernah mengalami masalah dalam
menjalankan ritual secara terbuka. Gereja, masjid, dan sinagog masih berdiri
dengan tegak. Bahkan dalam Undang-undang
negara juga disebutkan larangan adanya misi tertentu untuk mengajak penganut
agama lain untuk mengikuti agama tertentu
Sesuai dengan Pasal 18 UDHR, yang menyatakan bahwa setiap
orang punya hak untuk secara terbuka mengamalkan agamanya. Maroko punya 10
sinagog yang berfungsi, dan 16 gereja, di mana orang-orang Yahudi dan Kristen
bisa dengan bebas mengamalkan agama mereka tanpa gangguan. Orang-orang Hindu
dan Budha juga punya kuil-kuil suci di Rabat dan Casablanca.
Itulah kenapa, saat Negara-negara Arab digoncang dengan
Arabic Spring, perang saudara, perang antar Negara Arab, Maroko masih berdirih
kokoh dan aman-aman saja. Tidak ada kekacuan massif yang disebabkan oleh aliran
dan agama. Konflik Arab-Barbar pun sudah semakin lama semakin mendingin.
Terbukti dengan disahkannya bahasa Amazigh, bahasa orang-orang Barbar sebagai
bahasa resmi dan menghapus Bahasa Prancis sebagai Bahasa Resmi kedua setelag
Bahasa Arab. Menghapus label "Kerajaan Arab Islam Maroko" menjadi "Kerajaan
Maroko" juga sangat membantu Negara ini semakin dewasa dalam membangun
bangsa yang damai, anti perang dan lebih focus pada pembangunan dan kesejahteraan
rakyat,
Islam di Maroko, begitulah wajahnya. Tradisional tapi
moderat. Menerima perubahan dan modernisasi tapi nilai-nilai budaya masih
sangat dijaga. Tentulah ini menjadi amat penting untuk diperhatikan oleh
Negara-negara islam yang lain. Yang berperang sesame muslim, sebangsa dan
setanah air saling menghujat dan menkafirkan. Membantai aliran yang tidak
sejalan dan radikalisasi berkedok agama bersarang dimana-mana. Sedangkan para
musuh islam berdiri tegak menonton sebuah pertikaian anak-anak kecil disebuah
Colosium tua dan bersorak-sorak gembira. Muslim di Maroko mengajarkan kita
pentingnya toleransi, tapi tidak sampai menghilangkan nilai-nilai keislaman
yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar