Indonesia adalah Negara republik demokrasi di Asia tenggara(ASEAN) yang
terdiri dari kepulauan yang terbesar di dunia. Karena itu disebut sebagai
Nusantara. Nusa = Pulau, dan antara = diapit, artinya diapit oleh dua benua,
Asia-Australia dan 2 samudra Pasifik-Hindia.
Sedangkan Maroko atau yang disebut Maghriby(Negeri Matahari Terbenam)
dan sebutan lainnya seperti Negeri Serubu Benteng dan Negeri 7 wali,
adalah negara berbentuk monarki/kerajaan konstitusional di ujung barat Afrika
utara, berada di jalur Afrika-Eropa. Nama resmi negara ini adalah Al-mamlakah
AL-maghribiyyah(المملكة
المغربيّة). Jarak kedua negara ini adalah lebih dari 6000 km atau hampir sepertiga dari lingkaran dunia. Dengan jarak yang terpaut jauh dan sistem pemerintahan yang sangat
berbeda apalagi budaya dan bahasanya, kedua negara ini menitih sejarah yang
hampir terlupakan. Sejarah yang oleh genarasi kedua negara sekarang dan masyarakat dunia tak banyak
diketahui. Ketika
yang dibahas adalah sejarah Indonesia-Malaysia, Indonesia-Lebanon, Indonesia-Vietnam,
dan negara-negara
lainnya yang terpublikasikan secara luas di dunia internasional, banyak dari kita yang sedikit banyak
mengetahuinya. Tapi ketika yang disebut Indonesia-Maroko, maka sedikit orang
yang tahu sedikit hal dari pembahasan ini.
Mungkin timbul
pertanyaan, hubungan apa gerangan? Padahal hubungan ini sangatlah dekat seperti
kakak pada adiknya. Indonesia adalah kakaknya dan Maroko adalah adiknya.
Manfaat hubungan itu pun kita rasakan sampai sekarang terutama kaum muslimin
Indonesia, terlebih lagi kaum bersarung atau yang kita sebut dengan kaum santri.
Hubungan ini jauh
dimulai pada abad 14 saat penjelajah daratan terkemuka asal Maghribi atau
Maroko, Ibnu Batutah mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai(sekarang
wilayah Lokhsumawe, NAD). Pasai dinyatakan di dalam buku Rihlah ilal-Masyriq
(Pengembaraan ke Timur). Ibn Battuta menulis bahawa Sultan Malikul Zahir
dari negara Samatrah (Samudera Pasai) menyambutnya dengan sangat ramah.
Menurut Ibn Battuta, penduduk tempatan memeluk Mazhab Syafii.
Selain itu, Pasai juga menjadi pusat penyebaran agama Islam dan tempat rujukan
dalam menyelesaikan masalah-masalah berkaitan Islam. Ini dapat dilihat ketika masa keemasan kesultanan malaka, sultan meminta pendapat kepada ulama-ulama Pasai sekiranya ada masalah
agama. Selain itu, ulama-ulama Pasai juga menterjemahkan kitab-kitab agama dari
bahasa Arab ke
bahasa Melayu. Dalam bukunya itu Ibnu menggaungkan kebesaran
Indonesia di mata dunia.
Pada babak berikutnya, abad akhir abad ke 14, seorang muballigh, ulama’,
dan pejuang dakhwah islam bernama Maulana Malik Ibrahim, dalam sebutan
lain, Maulana Makhdum Ibrahim yang datang ke Indonesia, tepatnya di
daerah Gresik untuk menyebarkan agama islam. Kala itu islam belum berkembang di
Jawa. Tentang asal beliau ada beberapa
khilaf di antara para sejarawan islam.
Ada yang menitik beratkan pada penisbatan nama beliau “Al-maghribi” ,
merujuk pada nama daerah di Afrika Utara, tak lain adalah Maroko. Ada yang
menisbatkan nama beliau dengan “As-samarkhady(dalam sebutan Jawa “Raden
Asmoroqondi)”, berarti merujuk pada nama sebuah daerah di Iran, sekarang.
Diantara kedua itu yang paling rojih adalah yang pertama sebab di makam beliau
itu tertulis diakhir nama beliau “Al-maghribi” merujuk pada Maroko. Dan
banyak lagi makam-makam para ulama penyebar agama islam di Indonesia yang dibelakang
memakai nama Al-maghriby. Tidak heran jika ada sisi kesamaan antara budaya di
maroko dengan budaya di Indonesia. Seperti kenduren, tahlilan yang disebut zardah ( الزردة) / salkah (السلكة)
bisa dikatakan ambengan. Kalau di Indonesia ada nasi kuning maka disana ada Kus-Kus(bukan
nama hewan), yang terbuat dari gandum , sayur dan ayam atau daging
sapi-kambing. Ada juga acara seremonial 7 hari, 40 hari dan 100 hari
meninggalnya orang, serta acara maulidan
yang diperingati ramai disana. Sangat mirip bukan? Berlasbudilah para muslim di
Indonesia, khususnyan Jawa kepada beliau. Membuka cakrawala islam di
tengah-tengah pragmatisme penyembahan berhala di Indonesia.
Berikutnya adalah peran Maroko dalam perkembangan keilmuan khusunya
bahasa Arab di Indonesia. Hamper semua santri mengenal sebuah kitab kecil yang
mengupas secara ringan gramatikal Arab atau qowaidh lughowiyyah arobiyyah “ Al-muqoddimah Al-ajurumiyyah” atau
yang masyhur dengan kitab Jurumiyyah. Pengarangnya adalah Syekh Shonhaji
asli Maghribi/Maroko. Kitab ini diajarkan hampir di setiap Pondok Pesantren di
Indonesia sebagai dasar belajar bahasa Arab.
Ulama klassik Maroko yang juga memiliki pengaruh besar di
tanah air adalah Muhammad Bin Sulaiman Al Jazuli (w: 1465 M), pengarang
kitab Dala’il
al Khoirat, kumpulan sholawat dan dzikir. Karena kualitas
ruhaninya, kitab ini menjadi bacaan istiqamah (wiridan) bagi banyak ulama dan
muslim di tanah air.
Selain As Sonhaji dan Al Jazuli, ulama klassik Maroko yang
ikut andil dalam pengembangan Islam di Indonesia adalah Sidi Ahmad At Tijani
(w: 1815 M). tokoh pendiri thariqat Tijaniyah ini dikagumi oleh banyak muslim
Indonesia, sehingga ajaran thoriqatnya hingga saat ini diminati oleh muslim di
tanah air.
Sedangkan intelektual kontemporer Maroko yang memiliki
pengaruh kuat di Indonesia, di antaranya adalah: Mohammed Abid Aljabiri
(w: 2010), proyeknya dalam bidang “reformasi pemikiran” yang dituangkan dalam
beberapa buku, menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan intelektual muslim
di Indonesia. Selain Al Jabiri, beberapa ulama dan intelektual Maroko turut
mewarnai pemikiran dan keilmuan di tanah air, di antaranya; Ahmad Raisuni
(pakar Maqasid Syari’ah), Bensalim Himmich (filsuf) dan Fatimah Mernissi
(Pemikir dan Novelis).
Tidak cukup disitu saja, hubungan Indonesia dan
Maroko tidak hanya dalam agama dan keilmuan, tapi merambah ke hubungan
bilateral kenegaraan. Pada tahun 1955, diadakan sebuah konferensi besar yang
berpengaruh di dunia terutama Negara-negara Asia-Afrika yang kala itu belum
merdeka, di sebut Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Arika(KTT Asia-Afrika) di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan
mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme
atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni
Soviet, atau negara imperialis lainnya. Dengan dihadiri oleh 29 negera Asia-Afrika dan
dengan dikordinasi dan difasilitasi oleh Indonesia, konferensi ini menghasilkan
rumasan “Dasasila Bandung”. Dan diantara 29 negara tersebut adalah Al-mamlakah
Al-maghribiyyah atau Maroko(dalam inggris; Morocco). Terlebih lagi Maroko
adalah Negara Afrika yang pertama mendapatkan kemerdekaan setelah adanya
konferensi ini. Untuk itu Maroko menjuluki Indonesia sebagai “Akh
Syaqiq”(saudara kandung). Empat tahun kemudian, 2 Mei
1960, Presiden Soekarno tiba di kota Rabat bertemu Raja Muhamad V.
Soekarno merupakan presiden pertama yang datang ke negara itu. Ini awal
hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko. Presiden Soekarno juga dianggap
sebagai pemimpin revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Dari kunjungan Presiden
Soekarno dan hubungan persahabatan itulah yang membuat Raja Mohammed V memberi
kenang-kenangan khusus bagi Soekarno yaitu penamaan jalan yang mengambil
namanya yaitu Rue (jalan) Soekarno di jantung kota Rabat, ibukota kerajaan
Maroko.Tidak hanya jalan Soekarno saja yang ada di kota Rabat ada lagi nama
jalan yaitu Rue (jalan) Bandoeng dan jalan Jakarta.
Penamaan jalan tersebut
juga membuat Presiden Soekarno mengambil nama Casabalanca yaitu kota
perdagangan terpenting dan kota pelabuhan di Maroko sebagai nama jalan
terpenting dan tersibuk yang ada di ibukota Negara kita yaitu Jakarta. Selain
itu kota Casablanca juga adalah sister
city-nya kota Jakarta. Kunjungan tersebut juga merupakan awal
mulanya pendirian kedutaan besar Republik Indonesia di Rabat yang pada awalnya
bertempat di Agdal. Selain itu Warga Negara Indonesia juga dibebaskan visa
untuk masuk ke Negara Maroko yang bisa kita rasakan hingga sekarang terutama
bagi Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Maroko.
Dalam hal pendidikan,
setiap tahun Pemerintah Maroko menawarkan melalui AMCI (agen kerjasama
internasional Maroko) 15 beasiswa kepada Indonesia melalui Departemen Agama.
Dan mulai tahun 2010, Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Maroko telah
menyetujui permintaan PBNU untuk memberikan beasiswa khusus untuk putra-putri
PBNU sebanyak 10-15 orang setiap tahun guna belajar di institusi pendidikan
yang berada dibawah Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Maroko, khususnya
Universitas Qarawiyyin dan Pendidikan Tradisional (at Ta'liim al Atiiq) di
masjid Qarawiyyin. Dan juga khusus
di Ibnu Thofail University bekerjasama dengan STAINU Jakarta mengadakan program
Kelas Internasional yang ditempuh setahun dan rutin diadakan setiap tahun.
Namun sayangnya jatah yang
sudah diberikan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia, dengan
tidak maksimalnya kedatangan mahasiswa Indonesia ke maroko sesuai kuota
tersebut. Dan juga kurang selektifnya dalam memilih utusan-utusan penuntut
ilmu, sehingga tidak sedikit yang kurang maksimal dalam belajar di negeri
seribu benteng ini.
Begitu
besarnya nama Indonesia di mata dunia, khusunya Maroko. Ketika kita ditanya
dari mana, kita menjawab dari Indonesia, mereka pasti menjawab “ Ow
Andunisiyyah, ahsanun naas fil ‘alam (oww orang Indonesia,
sebagus-bagusnya manusia di dunia)”. Karena betapa erat hubungan kedua
Negara. Tapi ketika melihat kita secara sekilas mereka akan mengirah kita “ Maliziyah(Malaysia)”
atau “ Sinwy(China)”, karena jumlah kita masih kalah dengan Malaysia
yang mencapai 200 orang lebih sedangkan Indonesia tidak mencapai 130. Tugas
kita berikutnya. Pumpung kesempatan ada, gilaran kalian mengindonesiakan dunia
dan menduniakan Indonesia. Semoga hubungan bilateral Indonesia dan Maroko terus
berkesinambungan dan menjadi contoh yang baik bagi Negara-negara yang lain,
serta memeberikan manfaat dhohir dan bathin bagi kedua Negara.
Ditulis saat penulis sedang tinggal selama setahun di Maroko dan pernah dimuat di tebuireng.org.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar