Minggu, 23 November 2014

Indonesia-Maroko, Jauh di Mata, Dekat di Hati


Indonesia adalah Negara republik demokrasi di Asia tenggara(ASEAN) yang terdiri dari kepulauan yang terbesar di dunia. Karena itu disebut sebagai Nusantara. Nusa = Pulau, dan antara = diapit, artinya diapit oleh dua benua, Asia-Australia dan 2 samudra Pasifik-Hindia.  Sedangkan Maroko atau yang disebut Maghriby(Negeri Matahari Terbenam) dan sebutan lainnya seperti Negeri Serubu Benteng dan Negeri 7 wali, adalah negara berbentuk monarki/kerajaan konstitusional di ujung barat Afrika utara, berada di jalur Afrika-Eropa. Nama resmi negara ini adalah Al-mamlakah AL-maghribiyyah(المملكة المغربيّة). Jarak kedua negara ini adalah lebih dari 6000 km atau hampir sepertiga dari lingkaran dunia. Dengan jarak yang terpaut jauh dan sistem pemerintahan yang sangat berbeda apalagi budaya dan bahasanya, kedua negara ini menitih sejarah yang hampir terlupakan. Sejarah yang oleh genarasi kedua negara sekarang dan masyarakat dunia tak banyak diketahui. Ketika yang dibahas adalah sejarah Indonesia-Malaysia, Indonesia-Lebanon, Indonesia-Vietnam, dan negara-negara lainnya yang terpublikasikan secara luas di dunia internasional, banyak dari kita yang sedikit banyak mengetahuinya. Tapi ketika yang disebut Indonesia-Maroko, maka sedikit orang yang tahu sedikit hal dari pembahasan ini.

Mungkin timbul pertanyaan, hubungan apa gerangan? Padahal hubungan ini sangatlah dekat seperti kakak pada adiknya. Indonesia adalah kakaknya dan Maroko adalah adiknya. Manfaat hubungan itu pun kita rasakan sampai sekarang terutama kaum muslimin Indonesia, terlebih lagi kaum bersarung atau yang kita sebut  dengan kaum santri.
Hubungan ini jauh dimulai pada abad 14 saat penjelajah daratan terkemuka asal Maghribi atau Maroko, Ibnu Batutah mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai(sekarang wilayah Lokhsumawe, NAD). Pasai dinyatakan di dalam buku Rihlah ilal-Masyriq (Pengembaraan ke Timur). Ibn Battuta menulis bahawa Sultan Malikul Zahir dari negara Samatrah (Samudera Pasai) menyambutnya dengan sangat ramah. Menurut Ibn Battuta, penduduk tempatan memeluk Mazhab Syafii. Selain itu, Pasai juga menjadi pusat penyebaran agama Islam dan tempat rujukan dalam menyelesaikan masalah-masalah berkaitan Islam. Ini dapat dilihat ketika masa keemasan kesultanan malaka, sultan meminta pendapat kepada ulama-ulama Pasai sekiranya ada masalah agama. Selain itu, ulama-ulama Pasai juga menterjemahkan kitab-kitab agama dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Dalam bukunya itu Ibnu menggaungkan kebesaran Indonesia di mata dunia.
Pada babak berikutnya, abad akhir abad ke 14, seorang muballigh, ulama’, dan pejuang dakhwah islam bernama Maulana Malik Ibrahim, dalam sebutan lain, Maulana Makhdum Ibrahim yang datang ke Indonesia, tepatnya di daerah Gresik untuk menyebarkan agama islam. Kala itu islam belum berkembang di Jawa.  Tentang asal beliau ada beberapa khilaf  di antara para sejarawan islam. Ada yang menitik beratkan pada penisbatan nama beliau “Al-maghribi” , merujuk pada nama daerah di Afrika Utara, tak lain adalah Maroko. Ada yang menisbatkan nama beliau dengan “As-samarkhady(dalam sebutan Jawa “Raden Asmoroqondi)”, berarti merujuk pada nama sebuah daerah di Iran, sekarang. Diantara kedua itu yang paling rojih adalah yang pertama sebab di makam beliau itu tertulis diakhir nama beliau “Al-maghribi” merujuk pada Maroko. Dan banyak lagi makam-makam para ulama penyebar agama islam di Indonesia yang dibelakang memakai nama Al-maghriby. Tidak heran jika ada sisi kesamaan antara budaya di maroko dengan budaya di Indonesia. Seperti kenduren, tahlilan yang disebut zardah ( الزردة) / salkah (السلكة) bisa dikatakan ambengan. Kalau di Indonesia ada nasi kuning maka disana ada Kus-Kus(bukan nama hewan), yang terbuat dari gandum , sayur dan ayam atau daging sapi-kambing. Ada juga acara seremonial 7 hari, 40 hari dan 100 hari meninggalnya orang,  serta acara maulidan yang diperingati ramai disana. Sangat mirip bukan? Berlasbudilah para muslim di Indonesia, khususnyan Jawa kepada beliau. Membuka cakrawala islam di tengah-tengah pragmatisme penyembahan berhala di Indonesia.
Berikutnya adalah peran Maroko dalam perkembangan keilmuan khusunya bahasa Arab di Indonesia. Hamper semua santri mengenal sebuah kitab kecil yang mengupas secara ringan gramatikal Arab atau qowaidh lughowiyyah arobiyyah  “ Al-muqoddimah Al-ajurumiyyah” atau yang masyhur dengan kitab Jurumiyyah. Pengarangnya adalah Syekh Shonhaji asli Maghribi/Maroko. Kitab ini diajarkan hampir di setiap Pondok Pesantren di Indonesia sebagai dasar belajar bahasa Arab.
Ulama klassik Maroko yang juga memiliki pengaruh besar di tanah air adalah Muhammad Bin Sulaiman Al Jazuli (w: 1465 M), pengarang kitab Dala’il al Khoirat, kumpulan sholawat dan dzikir. Karena kualitas ruhaninya, kitab ini menjadi bacaan istiqamah (wiridan) bagi banyak ulama dan muslim di tanah air.
Selain As Sonhaji dan Al Jazuli, ulama klassik Maroko yang ikut andil dalam pengembangan Islam di Indonesia adalah Sidi Ahmad At Tijani (w: 1815 M). tokoh pendiri thariqat Tijaniyah ini dikagumi oleh banyak muslim Indonesia, sehingga ajaran thoriqatnya hingga saat ini diminati oleh muslim di tanah air.
Sedangkan intelektual kontemporer Maroko yang memiliki pengaruh kuat di Indonesia, di antaranya adalah: Mohammed Abid Aljabiri (w: 2010), proyeknya dalam bidang “reformasi pemikiran” yang dituangkan dalam beberapa buku, menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan intelektual muslim di Indonesia. Selain Al Jabiri, beberapa ulama dan intelektual Maroko turut mewarnai pemikiran dan keilmuan di tanah air, di antaranya; Ahmad Raisuni (pakar Maqasid Syari’ah), Bensalim Himmich (filsuf) dan Fatimah Mernissi (Pemikir dan Novelis).
            Tidak cukup disitu saja, hubungan Indonesia dan Maroko tidak hanya dalam agama dan keilmuan, tapi merambah ke hubungan bilateral kenegaraan. Pada tahun 1955, diadakan sebuah konferensi besar yang berpengaruh di dunia terutama Negara-negara Asia-Afrika yang kala itu belum merdeka, di sebut Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Arika(KTT Asia-Afrika) di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya. Dengan dihadiri oleh 29 negera Asia-Afrika dan dengan dikordinasi dan difasilitasi oleh Indonesia, konferensi ini menghasilkan rumasan “Dasasila Bandung”. Dan diantara 29 negara tersebut adalah Al-mamlakah Al-maghribiyyah atau Maroko(dalam inggris; Morocco). Terlebih lagi Maroko adalah Negara Afrika yang pertama mendapatkan kemerdekaan setelah adanya konferensi ini. Untuk itu Maroko menjuluki Indonesia sebagai “Akh Syaqiq”(saudara kandung). Empat tahun kemudian, 2 Mei 1960, Presiden Soekarno tiba di kota Rabat bertemu Raja Muhamad V. Soekarno merupakan presiden pertama yang datang ke negara itu. Ini awal hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko. Presiden Soekarno juga dianggap sebagai pemimpin revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Dari kunjungan Presiden Soekarno dan hubungan persahabatan itulah yang membuat Raja Mohammed V memberi kenang-kenangan khusus bagi Soekarno yaitu penamaan jalan yang mengambil namanya yaitu Rue (jalan) Soekarno di jantung kota Rabat, ibukota kerajaan Maroko.Tidak hanya jalan Soekarno saja yang ada di kota Rabat ada lagi nama jalan yaitu Rue (jalan) Bandoeng dan jalan Jakarta.
Penamaan jalan tersebut juga membuat Presiden Soekarno mengambil nama Casabalanca yaitu kota perdagangan terpenting dan kota pelabuhan di Maroko sebagai nama jalan terpenting dan tersibuk yang ada di ibukota Negara kita yaitu Jakarta. Selain itu kota Casablanca juga adalah sister city-nya kota Jakarta. Kunjungan tersebut juga merupakan awal mulanya pendirian kedutaan besar Republik Indonesia di Rabat yang pada awalnya bertempat di Agdal. Selain itu Warga Negara Indonesia juga dibebaskan visa untuk masuk ke Negara Maroko yang bisa kita rasakan hingga sekarang terutama bagi Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Maroko.
Dalam hal pendidikan, setiap tahun Pemerintah Maroko menawarkan melalui AMCI (agen kerjasama internasional Maroko) 15 beasiswa kepada Indonesia melalui Departemen Agama. Dan mulai tahun 2010, Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Maroko telah menyetujui permintaan PBNU untuk memberikan beasiswa khusus untuk putra-putri PBNU sebanyak 10-15 orang setiap tahun guna belajar di institusi pendidikan yang berada dibawah Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Maroko, khususnya Universitas Qarawiyyin dan Pendidikan Tradisional (at Ta'liim al Atiiq) di masjid Qarawiyyin. Dan juga khusus di Ibnu Thofail University bekerjasama dengan STAINU Jakarta mengadakan program Kelas Internasional yang ditempuh setahun dan rutin diadakan setiap tahun.
Namun sayangnya jatah yang sudah diberikan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia, dengan tidak maksimalnya kedatangan mahasiswa Indonesia ke maroko sesuai kuota tersebut. Dan juga kurang selektifnya dalam memilih utusan-utusan penuntut ilmu, sehingga tidak sedikit yang kurang maksimal dalam belajar di negeri seribu benteng ini.
Begitu besarnya nama Indonesia di mata dunia, khusunya Maroko. Ketika kita ditanya dari mana, kita menjawab dari Indonesia, mereka pasti menjawab “ Ow Andunisiyyah, ahsanun naas fil ‘alam (oww orang Indonesia, sebagus-bagusnya manusia di dunia)”. Karena betapa erat hubungan kedua Negara. Tapi ketika melihat kita secara sekilas mereka akan mengirah kita “ Maliziyah(Malaysia)” atau “ Sinwy(China)”, karena jumlah kita masih kalah dengan Malaysia yang mencapai 200 orang lebih sedangkan Indonesia tidak mencapai 130. Tugas kita berikutnya. Pumpung kesempatan ada, gilaran kalian mengindonesiakan dunia dan menduniakan Indonesia. Semoga hubungan bilateral Indonesia dan Maroko terus berkesinambungan dan menjadi contoh yang baik bagi Negara-negara yang lain, serta memeberikan manfaat dhohir dan bathin bagi kedua Negara.

Ditulis saat penulis sedang tinggal selama setahun di Maroko dan pernah dimuat di tebuireng.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar