Sesosok prawakan Jawa kampung menatap kosong arah
animasi kehidupan yang tampak nyata. Tubuhnya yang gempal kekar, dada busung,
dan otot-otot yang mencuat ke permukaan, seperti hilang tiada guna sebab
kegalauan yang menimpanya. Dibantu dengan surya
yang panasnya seperti tiada ampun dan angin yang kala ini menghempas
sinis. Santri yang satu ini memang sedang dirundung pilu. Burhan itulah biasa
dipanggil. Di sebuah pesantren mungil, Al-barokah 6 tahun menempa ilmu, baru
kali ini ia rasakan sebuah batu sandungan yang membuatnya masuk jurang pula.
Bagaimana tidak. Sudah 2 minggu ini ia menanti
amplop putih dari emaknya di seberang pulau jauh. Tapi setiap penantiannya selalu berhasil nihil.
Sedangkan kabutuhan logistik ia harus bersusah payah atau menunggu kemurahan
kyai mengizinkan mengais-ngais tanah
mencari ubi yang kiranya sudah layak masak. Terkadang ia harus jadi juru masak
atau cuci baju para anak bangsawan dan pejabat.
Saat ini para santri berbondong-bondong menuju dapur atau warung terdekat. Tentu saja
bukan termasuk para penderita kanker –kantong kering\bokek—seperti Burhan.
Pandangannya pada para santri yang pada makan bersama di dapur. Tak berwadah, cuma
beralas lantai keramik kasar yang dilap dengan kaos basah. Menancap dalam
angan-angan andaikan ia ada diantara kerumunan itu. Itupun sungguh membuat
hingar bingar canda tawa ramai semai suasana haru biru.
“Kang…tamanni saja sampyan tu. Ada apa kang?”
seorang bertubuh kecil tinggi tapi tipis datang dengan menenteng kitab tipis
Mabadiul fiqh karya Syekh Abdul Jabbar, maklum dia baru menatar ilmu 2 bulan
disini.
“Waduh Sholeh, ngaggeti ae sampyan iku. Ndak ada
apa-apa kok. Cuma lagi tafakkur aja.” Burhan berusaha menutupi kesusahan. Ia memang tipe orang yang tak biasa menyajikan
kesusahannya pada orang lain. Ia mengukuti apa yang Rasul lakukan, berusaha
sekuat tenaga menutupi kesusahan peribadi dan mementingkan kemashlahatan
bersama.
“Alah kang, tafakkur apa tho? Ada-ada aja sampyan
ki. Mbok ya ikut-ikut mindo sana. Kesambet jin pondok loh. Hehehehe….” Sholeh
mencoba menghibur dengan guyonan-guyonannya.
“Sampyan Kali leh, jinnya? Hahaha..wes wes ayo ke
masjid aja, sekalian nunggu ashar!”, mencoba mengalihkan pembicaraan Burhan menarik
Sholeh menuju masjid.
Hangatnya cahaya surya siang setengah sore ini,
ternyata mampu menunda laparnya. Sungguh Allah adalah maha sumber kekuatan.
Bukan Nasi atau makanan. Jika Ia
menghendaki. Buktinya kalau saja Nasi sumber lapar tentu Burhan tak akan tahan,
akan semakin melilit sulit. Allah masih mengasihinya, sebagai pengais ghonimah Ilmu dalam peperangan melawan
kebodohan. Gegap gempita langkah para santri menenteng kitab Mukhtaru
al-Ahadist, dengan langkah mantap menatap masa depan dengan pedoman al-qur’an
dan as-sunnah. Begitu juga dengan santri kawakan burhan sebab umurnya yang
sudah menuju 26 tahun. Seangkatannya aja sudah ada yang beranak dua.
“………………………rowahu, ngeriwayataken sopo al-Muslimu,
Imam Muslim. Tut tut tut…..”,sampai pada pembacaan rowi hadist, tiba-tiba
android merek OPPO warna putih milik Kyia Adam bordering. Spontan beliau
angkat,” wa’alaikumsalam. Ya Dek”, raut muka beliau agak serius. Dek?
Sepertinya dari Bu Nyai. ” Astaghfirullah! Baik Dek saya kesana.” ,tanpa salam
beliau bergegas menutup telponnya. “ Anak-anak, saya ndak bisa meneruskan
pengajian ini. Saya ada urusan penting yang mendadak. Saya akhiri
wassalamu’alaikum”. Pengajian yang dipimpin kyai Adam Abdullah itu, selesai
lebih cepat. Kurang jelas kenapa. Beliau terlihat tergopoh-opoh sampai hampir
saja beliau ndlosop. Untung saja tubuh kekar beliau mampu menahannya. Serentak
para santri mengucap innalillahi.
“Ada apa ya kyi tu?”, tanya Didin pada burhan. Tapi
Burhan masih saja dengan laga cueknya dengan memegangi perutnya. Spontan ia
langsung berdiri dan melangkahkan kakinya menuju arah keluar masjid. Tetap
bersama tangan yang menahan perut. Mungkin rasa laparnya kembali berontak. Sholeh
yang melihat itu lalu mengikutinya. Sholeh memang sahabat baiknya sejak Sholeh
ada disini. Walau usia mereka terpaut tujuh tahun. Dalam perjalanannya yang
sangat menahan sakit, ia terhenti disekitar gerbang masjid. Tatapanya tertuju
satu pada sebuah benda berwarna hitam kecoklatan. Semakin ia mendekat semakin
terlihat bentuknya persegi. Semakin dekat ia seperti benda dari kulit. Itu dompet.
Dompet kulit. Saat itu juga setan-setan gaib bergerombol manari-nari mengitari
angannya. Dibantu dengan musuhnya bebuyutannya, nafsu. Tapi sisi lainnya, ia
masih punya iman. Dua ranah berbalik ini malah membuat dia menjadi sempat
goyah. Dua ranah ini lah yang membuat dia semakin tersiksa. Ia sedang butuh
uang. Disisi lain sebagai santri tulen ia jelas sangat paham bahwa kedustaan
menunjukkan kejelekan dan kejelekan menunjukkan pada neraka. Syukur ia memilih
lebik baik lapar dari pada neraka menunggunya lengkap dengan paket aksesoris
hotnya.
“Kang…! Ada apa? Apa yang sampyan pegang itu?”,
tiba-tiba si cungkring nan jangkung Sholeh datang tak diundang. Nampaknya
Burhan tak tahu kalau Sholeh membuntutinya. Dibelakang lagi ada Sultan, santri
gendut, anak pejabat berdasi di kabupaten, terus mengintai. Dia selalu berlaga
intelejen, dan selalu curiga. Tapi gendut tambun itu memilih pergi. Mungkin
sudah kelaparan.
“Eh sampyan tu salam dulu tho. Ngageti aja!”,
sepertinya ia takut dikira maling dompet, “
Ini dompet Leh aku temukan disini.” Ia legah berhasil membuat gebrakan
kata yang menjadi taukid kalau dia bersih dan aman.
“ Punya siapa Kang? “, tanya Sholeh sembari alis
yang diangkat. Penasaran.
“Ndak tau Leh. Punya siapa ya? “, sembari
menggaruk-garuk kepalanya yang berambut lebat dan sedikit kriting itu.
“Aduh Akang
Burhan…ya dilihat tho dalamnya. Biasanya ada KTP-nya. Coba sampyan
lihat!”.
“Oy yaya….! Hmmm ..sebentar,” ia buka pelan-pelan.”
Ndak ada Leh. Kosong. Adanya uang buwanyak. Terus sama kartu-kartu ngunu. Tapi
ndak ada kalau KTP.” Sambil membuka buka
dan menghitung-hitung uang yang ada. Rasanya lama sekali ia tak megang uang.
“Masak kang..sini se,,mana?, “ Sholeh tak percaya. Ia buka-buka. “ Ya ek Kang ndak ada. Gimana ya?”
Betapa bingun kedua santri itu. Seperti tertimpa
duren yang berat sekali. Tapi durennya
duren orang. Menjadi amanah yang besar. Didalamnya ada uang menembus
angka juta dan tiga kartu ATM.
“Kang kita tulis aja pengumumannya di mading. Gimana
usulku?”, tiba-tiba Sholeh mualai memulai menciatkan ide-idenya yang sering
sekali manjadi solusi. Ini rahasia umum.
“Bagus sampyan Leh. Nggak rugi dari tadi kamu
garuk-garuk kepala. Aku saja garuk-garuk kepala sampek jitok ndak
dapet-dapet.”, memang IQ Burhan jauh dari kata manyaingi Sholeh. Itu sebabnya
dia sampek usia 26 tetap sampai Alyah diniyyah kelas akhir tapi belum menemukan
akhir. Hanya saja Burhan adalah lelaki tangguh dan bermental baja. Itulah ia
bisa berjejak kaki dan merebahkan hidupnya 16 tahun di pesantren. Ia hampir lupa
dengan duniawiy. Harta, kerja, wanita, semua tergeser dari nominasi kehidupannya,
yang tersisa hanya mengabdi dan ilmu. Sederhana.
“Ditemukan dompet dengan ciri-ciri…………..”, begitulah
kiranya kata-kata yang mereka torehkan di mading. Mereka sepakat batas akhir
konfirmasi adalah malam nanti. Selebihnya akan ia serahkan ke keamanan pondok.
Seharusnya malah harus diserahkan langsung. Tapi mereka tak mau embanan amanat
ini harus ia lempar begitu saja. Mereka tahu semua amanat akan
dipertanggunjawabkan di yaumul hisaab nanti. Seberat biji zarroh pun. Selain
pengumuman di mading mereka juga aktif melebarkan sayap informasi ke semua
sudut sentralisasi para santri cangkruk
dan memanjakan budaya hedonis. Memang banyak juga santri yang hedonis, tradisi
keilmuan dikesampingkan mendekati jurang ketiadaan, sedangkan keasyikan,
hiburan, hura-hiri, foya-fiyi. Beda dengan burhan dan sholeh. Hedonisma adalah
sebatas pelipur lara kala sedih atau sepi menerka. Mereka lebih bangga berada
dalam majlis bersenjata kitab, bahsul masail dan halaqoh-halaqoh keilmuan.
Itulah yang sekarang dilupakan oleh para santri. Islam itu tidak melarang
hedonis. Tapi sesuai pada porsinya sembari harus ingat dengan faktualisasi dan
aktualisasi diri masing-masing. Rokok kopi jalan ilmu jalan. Andai saja warung
jalan, ngopi jalan, dibarengi dengan diskusi kecil-kecilan, bukankah tambah
mantap itu? Sederhana kan?
Bulan sudah menutup diri dalam mendung. Dua
orang santri beda generasi ini, berduaan
di depan koridor. Sambil menatatap asap rokok yang sembari tadi hanya puas jadi
pajangan. Mereka bairkan dihisap dan diendus oleh angin malam yang saat itu
dinginnya menusuk. Mereka sedang memikirkan dompet itu yang tak kunjung ada
yang mengakui.
“Kang, sampai sekarang kok belum ada yang ngaku yo
Kang? “, sholeh mengawali pembicaan. Dari tadi hanya tatapan ke atas
mencari-cari bintang.
“Ya ik Leh. Kok sampai sekarang ndak ada ya. Kita
kan jadi muter otak lagi ohk ”, kata Burhan dengan melekatkan kedua tangannya.
“Oalah Kang, sampyan punya ide? Aku jujur buntu
ni..”.
“Apa Allah memang mengirimkan dompet ini buat kita
ya Leh. Lebih-lebih aku seng dari dua minggu lalu ora mbawa duit blas”, pikiran
nakal ini tiba-tiba hadir dalam putaran olah otak Burhan.
“Hush….Kang! Astaghfirullah! Nyebut tho kang eling
po’o! ini amanah bukan hak kita.” Dasar kutu buku yang satu ini memang sangat
hati-hati dengan hukum agama.
“Opo kita kasihin ke Kyai aja yo? Lebih aman Leh.
Gimana?”, Burhan pun mngeluarkan ide. Entah dapat ilham dari mana.
“O…yaya Kang. Tumben sampyan agak topcer
idenya. Langkah banget loh Kang”, kali
ini Sholeh terlalu jujur. Burhan hanya senyum sembari garuk-garuk kepala.
Muttafaqun Alaih. Kesepakatan kedua penemu itu sudah
bulat. Melempar masalah ini ke pimpinan terginggi pondok, Kyai Adam Abdullah.
Dirasa mereka sudah buntu menyelesaikanya. Dan menjawab teka-teki siapa pemilik
dompet ini. Tidak membuang waktu, malam dingin yang menusuk-nusuk itu
sepertinya ingin mereka perangi. Mereka menuju rumah Pak Kyai Adam yang berada
disamping ruang kelas.
“Assalamu’alaikum…! Tok tok tok…!”, Sholeh yang
memulai mengetuk dulu. Tapi tidak kunjung si empu rumah menjawab salamnya. Ada
malah hening dan sepi. Dua kali mereka salam tak ada jawaban. Mereka coba untuk
kesempatan terakhir. “ Assalamu’alaikum…! Tok tok tok….! Serentak mereka
bersalam bagai duet penyanyi terkenal. Lama setelah nafas mereka beranjak dari
berkontraksi sebab ucapan salam yang sedikit menekankan makna, makna haqiqi
sebuah do’a dan makna majazi sebuah suara alat panggil, tetap nafi, tidak ada
jawaban.
“Aduh Kang, ndak ada jawaban. Kali aja Kyai sedang
bubuk. Nggak baik ngganggu tho?” Sholeh mengajak Burhan kembali. Putus asa
dengan salam yang sudah mencapai batas maksimal tapi nihil.
“Tapi Leh, aku tetep saja ndak enak. Kepikiran.
Mauku malam ini wes rampung.”, Burhan sepertinya berat sekali kembali. Karena
berat juga hisab di mahsar nanti. “ Gini aja, kita tunggu sepuluh menit lagi
deh, ok?” Burhan mengajak Sholeh bermain
lobi. Walau otak kurang topcer, kalau masalah loby dia lebih jago.
“Okelah, sepuluh menit ya Kang? Aku sumpah dah ngantuk tenan iki”, sambil menunjukkan pada
Burhan proses pengangahan mulutnya sebagai bukti ia sedang mengantuk, ingin merebahkan tubuh dalam dengan iringan
orkestra para jangkrik dan terangan lampyon-lampyon para kunang-kunang.
“Srek…srek..”, suara kaki bergesekan dengan lantai.
“ Wa’alaikum salam warohmatullah..! Siapa ya malam-malam?”, suara perempuan itu
tak asing meraba telingan kita. Itu Bu Nyai Masluhah. Adik Kyai Adam.“
gretek..ngik ngok”, pintu itu terbuka. Telah sedang muncul seorang wanita
berkerpala tiga, umurnya. Menggenakan baju kaftan ala syahrini. Malah memakai
sepatu hak tinggi sepuluh centi meter ala pelaku fashion show.
“Owalah kalian para santri. Ada apa antuma datang
kemari? malam malam lagi.”, wanita itu adalah ustadzah pengajar tafsir lulusan
Al-azhar di pondok putri yang kira-kira lokasi 5 Km dari sini. Beliau duduk di
depan pintu sedikit jauh dari kami yang di ujung lantai teras. Jaga jarak bukan
mahrom.
“Kyai Adam ada Bu Nyai?”, dengan laga ala abdi
dalem, memasukkan tangan di antara selakanga sambil duduk.
“Wah..kebetulan Kyainya lagi nggak ada. Tapi kalau
antuma ada pesan bisa lewat saya aja. Saya juga mau nyusul beliau.”, wanita ini
sangat sopan dan lembut.
“Hmmm…Ya udah ustadzah. Begini, kami menemukan
dompet ini. Kami seharian ndak nemu-nemu siapa pemiliknya. Makanya cepat-cepat
kami ke Kyai. Mau laporan.”, terang si Burhan laga seperti super hero
kegagalan.
“Ha? Mana saya lihat….?”, sambil menodongkan tangan
kanan beliau menengadah keatas. Tak usah pikir panjang Sholeh memberikan barang
dari kulit buaya itu.
“Hmmm,,,,kalian harus ikut saya, ndak usah tanya.
Cepat! Ikut saya ke mobil!”, Burhan dan
Sholeh seperti tak menyangka. Tindakan Bu Nyai Masluhah aneh sekali. Tanpa
konfirmasi malah mengajak ke dua santri biasa, bukan mustahik bukan pengurus
bukan khodam atau pelayan Kyai, ke tempat yang hingga mereka duduk di atas sofa
mobil, terus melukis tanda tanya. Bahkan ketika di lokasi mereka tak tahu apa
yang harus mereka lakukan.
Di balik kaca Mobil sedan BMW ini, mereka terus
melihat ke arah luar. Sambil menerka-nerka kemana mereka gerangan di bawa.
Jangan-jangan ke polisi. Dengan tuduhan pencurian atau pencopetan. Tiba-tiba
mobil memasuki sebuah tempat parker bawah tanah. Lalu lalang perempuan
berkopyah setengah kepala mondar-mandir dengan langkah yang relative cepat. Segala
bentuk dugaan mereka akhirnya terbayar. Bukan kantor polisi, tapi rumah sakit.
Walau begitu tanda tanya bukan malah sesalai, tapi semakin bermunculan banyak lagi.
Mulai dari siapa yang sakit, ada apa disini, dan mengapa harus mereka yang
diajak disana? Bahkan mereka pikir apakah mereka sedang dikira sakit, padahal
sakitnya cuma lapar.
“Ayo kalian masuk ikuti saya!”, Bu Nyai Maslahah
laganya sudah seperti intel yang bertugas menanganai kasus sedangkan mereka
berdua seperti tahanan saja. Burhan dan Sholeh hanya mengangguk dan
menggeleng-geleng. Sampai sekarang segala bentuk pertanyaan mereka belum tuntas
terjawab. Malah semakin banyak.
Mereka digiring menuju lantai dua. Ke sebuah ruangan
321. Nomer cantik katanya orang-orang. Tapi hampir melebarkan pintu yang sudah
terbuka oleh Bu Nyai masluhah. Beliau menyuruh kami tunggu di luar. Hampir saja
bisa mengurangi deretan daftar pertanyaan yang melayang-layang di benak mereka.
Ternyata belum saatnya.
“Kriek…”, daun pintu kamar 321 terbuka hampir 90°.
Ternyata, tubuh tegap ala pendekar arab, berjenggot tebal nan panjang. Sosok
yang tak asing bagi Burhan, Sholeh, semua santri Ponpes Al-Barokah. Orang yang
terburu-buru kabur saat pengajian kitab Mukhtar al-Ahadist tadi pagi. Kyai
Adam. Pinpinan pondok berumur kepala 6 ini terlihat kehilangan separuh
kebahagiannya. Ada apa. Wajah beliau yang murah senyum tiba-tiba menghilang dan
berubah drastis. Beranjak dari pintu beliau mendekati Burhan dan Sholeh, duduk
disamping mereka tanpa tatapan ke arah yang mengenah.
“Dek Maslahah, kok malam-malam banget tho kesininya?
Kenapa juga bawa dua santri ini? Burhan…..dan ini Sholeh kan?”, beliau
menunjuk-nunjuk mereka. Dan lagi-lagi tatapannya tidak semantap biasanya.
“Ya Mas Adam, mereka membawa amanat yang tinggi.
Tunjukkan anak-anak apa yang kalian bawa?”, Bu Maslahah memberi isyarat dagu
pada mereka.
“Begini Kyai, kami menemukan dompet ini.”, kata
burhan sambil menenyodorkan dompet kulit itu.
“Oww jadi kalian yang mencurinya? Tega kalian.”,
intonasi Kyai mulai berubah meninggi dan berwajah agak geram.
“Bukan, bukan Kyai mohon maaf. Kami temukan ini di
dekat masjid. Kami saja ndak tahu ini punya siapa.”, Sholeh menyanggah tuduhan
Kyai Adam.
“Mas, istighfar tenang dulu! Buka mata dan hati Mas.
Mereka temukan ini di depan masjid. Inget dengan nadzar mas!”, Bu Nyai maslahah
menyebut-nyebut kata aneh dan jarang terdengar dalam kehidupan sehari-hari.
Sangar juga Kyai Adam bernadzar. Nadzar? Pertanyaan lagi. Burhan mulai
berimajinasi lagi lebih dalam. Nadzar itu berhubungan dengan penemu dompet itu,
tidak lain adalah dia sendiri. gemetar, takut, tawadhu’, dan bimbang semakin kuat dirasa.
“Astaghfirullah, Mas hampir saja ingkar dek. Janji
Mas sama Allah. Maafkan hambamu ini ya Allah. Hamba khilaf.”, Kyai
mengusap-usap wajah beliau berkali-kali tanda penyesalan yang dalam.
“Alhamdulillah Mas, mending sekarang Mas jelasin ke
mereka apa yang sebenarnya terjadi. Dan kasian juga dia.”. Dia? Dia siapa yang Bu
Nyai maksut?
“Baik Dek”, beralih beliau menoleh pada kami.”
Anak-anakku, Burhan dan Sholeh. Siapa diantara kalian yang menemukan dompet
ini?”, tatapan beliau berubah lebih serius dan hampir tak ada teror kedipan
mata.
“Dia Kyai”, Sholeh dan Burhan saling menunjuk. Dan
tak ada yang mengaku. Kyai pun hanya memicingkan mata.
“Aduh,,,,,,,,saya Kyai”, Burhan mengaku dengan
keberanian penuh. Saya menemukan dompet itu setelah pengajian Kyai.”, akhirnya
Burhan mengaku. Walau dengan wajah yang tertunduk lesu. Takut dan legah
berfertilisasi jadi satu.
“Sejak kehilangan dompet, saya bingung. Karena saya butuh dengan isi
dompet itu. Anak saya sedang sakit. Setelah itu saya beristikhoroh. Dan
hasilnya saya harus membuat nadzar. Allah membantu saya. Saya temukan dia.”,
tetesan air mata mengalir dari mata beliau yang tadinya tajam dan melebar.
Sekarang menciut. Ternyata “dia” yang Bu Nyai Maslahah maksud, adalah putri Kyai adam yang selama ini mereka
tak tahu dimana dia tinggal, jelas tidak
di rumah Kyai di pondok. Para santri hanya mendengar Kyai memiliki putrid yang
tidak pernah tinggal di rumah. Sejak kecil di rumah kakeknya dan usia SD sudah nyantri.
“Kalau boleh tahu, nadzar apa tu Kyai?”, Burhan
bertanya dengan sangat penasaran. Kyai tidak langsung menjawab.
“Baiklah Bur,
ikut saya kedalam!”, saat itu ia seperti penderita struk. Untuk jalan saja, ia
harus dibantu Sholeh. Perasaannya tak karuan. Asam manis pedas asin tak ada
pastinya. Ia terintervensi dengan keadaan. Atau kah oleh takdir.
Pertama langkah memasuki ruangan 321 itu, dinginnya
membantu segala tak karuan perasaannya. “ Itulah hadiah yang saya nadzarkan
Burhan. Apakah kamu mau menerimanya?”, Burhan semakin bingung. IQ tak bisa
menangkap maksud sang Kyai.
“Maaf Kyai, eh saya masih belum paham”, semakin
bingung.
“Kalau yang menemukan Dompet itu adalah laki-laki
tua, maka akan saya jadikan saudara dan saya beri modal untuk usaha. Tapi kalau
dia wanita maka aku beri modal pula. Tapi kalau laki-laki muda dibawah 30, maka
saya akan beri dia hadiah istimewah. Hadiah yang tak akan terduga. Berarti kamu
lah Bur, yang akan terima itu. Kamu siap mengetahui hadiah itu?”, Burhan
tersentak kaget. Mimpi Allah menciptakan cerita perwayangan yang aneh ini. Ia
masih merasa tak mengerti apa yang sebenarnya ia alami. Ia merasa mimpi. Bahkan
dengan menjawab tawaran Kyai, ia hanya bisa mangguk-mangguk. Tak ada kata-kata.
Kyai memberikan sebuah kejutan yang sukses. Di
ruangan itu ia lihat sesosok wanita muda terbujur lemas dengan infus yang
menodai tangannya. Penutup mulut dan hidung itu sangat menutupi wajah ayunya.
Neng Fatimah Az zahro binti Adam Abdullah. Seorang wanita lulusan kairo dengan
predikat master cumloed.
“Dia terkena kanker otak. Dan kata dokter ia
prediksi tak akan lama hidupnya. Tapi saya tak percaya. Allah yang punya itu.
Bukan dokter. Nikahi dia Bur. Saya mohon. Saya ingin akan membuat dia bahagia.
Satu keinginannya dia terakhir kalinya adalah menikah. Bur?”, Burhan antara ya
dan tidak. Sungguh hari ini ia tak menyangka. Ia tak bisa jawab.” Bur, kalau
kamu bersedia, nikahi dia hari ini. Niatlah melaksanakan sunnah rasululillah.”,
pak Kyai semakin memaksa. Sepertinya ini adalah harapan besar bagi beliau.
“Tapi ibu saya? “, dia teringat dengan emaknya di
kampung yang jauh. Dan tak mungkin ia melangkah tanpa restu sang pahlawan
sepanjang masanya. Tapi ia juga pernah mendengar cerita di kitab ta’lim
muta’allim bahwa seorang ulama’ menjadi nonaktif ilmunya, sebab mengesampingkan
gurunya yang sedang sakit dari pada ibunya. Dua ranah yang berantonim.
“Saya akan menghubungi beliau. Dan saya akan jemput
beliau di rumah”, beliau lalu menoleh ke adek semata wayang beliau.” Dek
Maslahah, tolong pyan jemput ibu nak Burhan ini di kampungnya. Hari ini harus bisa dek. Kalau
perlu pakailah pesawat.”, saat itu juga ia tak ada pilihan. Selain menuruti
sang Kyai. Dengan alasan tawadhu’ lilmudarris. Ia coba menanangkan hati dan
mulai melapangkan dadanya. Menghentakkan kaki, yakin Allah tak buta. Ke’aliman
dan kesalehan Kyai Adam lebih mendekatkan diri beliau kepada Allah dari pada Burhan.
Shaleh sembari tadi, hanya mengelupas kulit jari-jemarinya yang mlubuti.
Mengelabuhi diri dalam kepura-puraannya. Ia tampaknya tahu, keadaan Kakangnya
dalam ketalutan super mega walt. Mencoba menenangkan ia tepuk-tepuk bahu Burhan
perlan-pelan.
Dua belas jam sudah mereka berdiam-diam menunggu
kedatangan siti romlah, emak Burhan. Melepas rindu sekaligus mengadu. Emaknya
yang puluhan tahun menumbuhkannya dan berteman dengan padi sebagai buruh tani,
untuk membiayai mondoknya. Kadang ia berfikir seharusnya sekarang adalah
saatnya ia yang melepas penderitaan emaknya dari masa tuanya. Kapan Allah
merestuinya.
“Assalamu’alaikum,,,,,,”, dibalik pintu kamar 321,
tampak seoarang wanita tua memakai kaerudung ala era 70-an. Rambutnya yang
didominasi putih susu, melambai seakan ikut rindu melihat anak yang sudah 12
tahun tak bertemu.
“Emak……emak…!”, beranjak dari kursi sofa yang sudah
12 jam ia duduki, berlali dan bersujud mencium kaki kanan sang emak. Tetesan
air matanya membasahi kulit kaki wanita tua itu.” Emak,,maafkan Burhan, yang
selama ini merepotkan emak, sudah saatnya emak menikmati masa tua tanpa
berkalang tanah sawah dan gatalnya padi. Burhan malu mak.”, beranjak dari
ciuman kaki yang lama, ia berdiri merangkul sang emak.
“Kenapa harus malu nak? Ibu mana yang tak bangga kalau anaknya akan
menikahi putri gurunya. Putri Kyainya.”, Burhan tersentak kaget. Mencoba
mangulang-ulang kata-kata sang emak.
“Emak? “, ia tak bisa bicara lagi.
“Ya nak, kalau kamu mau emak bangga, nikahi fatimah!
Malam ini!”, senyum sungging emak membuat hati Burhan merasa makin lapang. Emak
merestuinya. Malam ini baginya tak akan ia lupakan. Malam penuh sejarah.
Lelaki separuh baya bersongkok hitam standar
nasional berjas hitam ala kantoran, datang menenteng tas jinjing dinas
bertuliskan Kementrian Agama RI. Tak salah lagi dia adalah pak penghulu yang
akan membantunya berikrar dalam akad suci sunnah rosul. Fatimah sudah bangun,
ia masih tak mengerti apa yang terjadi, keharuan kebingungan kesedihan dan
kebahagian macam apa yang terjadi di ruangan 321 ini, tempat ia sedang
berbaring memerangi kanker otak yang ia idap 3 bulan ini.
“Nak, inilah
calon suami kamu. Namanya Burhanuddin Mubarrok. Dan ini calon mertua
kamu emak Siti Romlah. Kamu setuju? Dia santri Abi nak.”, Kyai coba menjelaskan
pada putrinya sambil mengelus-elus tangan pucatnya.
“Tapi apakah dia akan bersedia menerima aku apa
adanya, dengan keadaanku yang begini? Dan akan lapang dada jika Allah
memutuskan apa yang tidak diinginkan.”, syarat yang sederhana. Tapi sangat
berat dijalani.
“Dek Fatimah, aku insya Allah akan siap jadi Ali.
Yang siap menahan derita demi istri. Semoga Allah selalu bersama kita.”, dengan
semangat berapi-api ia katakan janji itu didepan calon istrinya. Sedang fatimah
hanya berkata pelan dan beriringan tipis dengan angin” lakukan ayah sekarang!”.
“Qobiltu nikaha………!”, akad itu terlampaui sudah,
keabsahan ikatan mereka menghalalkankan mereka dalam cinta suci karena Allah
dan Sunnah Rosul mereka Muhammad yang agung. Malam itu penuh panorama. Dengan
wali nikah diwakili pakde jarwo, kakak suami emak siti dan saksi sholeh dan
parto pegawai rumah sakit. Mereka sah secara agama. Dengan penghulu resmi
Kemenag RI negara pun ikut bersuara mencatat mereka dalam buku pernikahan resmi
negara. Burhan pun ditinggal dalam kesepian dengan sang istri yang 5 menit lalu
baru saja resmi ia nikahi. Ia dekap sang istri merangkulnya penuh canda.
Mencium keningnya dengan cinta. Dan merabanya dengan sepenuh do’a awal
kebahagian mereka. Namun Innallaha ‘ala Kulli syai’in qodir. Allah maha
menghendaki dan memutuskan segala sesuatunya. 10 menit berlalu awal pernikahan.
Ternyata berlalu juga sampai akhir pernikahan. Sepuluh menit lalu ia merajut
kebahagiaan. “ Suamiku, maaf, tamu agung iti itu telah datang. Aku harus siap
menyambutnya dengan suka cita. Bersabarlah sesuai janjimu padaku. Lillahi
ukhibbuka. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammda rosulullah.”,
sepuluh menit itu juga Allah menggantinya dengan kesedihan. Dalam dekapanya,
kalimat syahadatain terucap halus nan merdu dari bibir tipis wanita cantik
master lulusan kairo ini. Tamu agung malaikat maut, datang. Burhan semakin erat
merangkul. Pasrah. Tawakkal. Kalau Allah sudah berkehendak, 10 menit, tak ada
apa-apanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar