“Negeri Ini
dibangun atas dasar toleransi.Pancasila dasar Negara telah mengumandankan
bineka tunggal ika. Maka kita sebagai rakyat Indonesia wajib menjunjung tinggi
toleransi baik dalam beragama maupun berbangsa dan bernegara.”, seorang guru
PPKN bertubuh gempal pendek, tapi berwibawa. Belakang aku baru tau dia adalah
Pak Mulyanto, guru senior di sekolah SMA. Aku baru saja tahu, bahkan semua guru
aku baru saja tahu. Aku baru saja pindah dari Kota ke Desa ini.
Ayahku, Abdur Rahman
ingin mencari ketenangan di desa. Bertahun-tahun tinggal di kota menjadi
peneliti Syiah-Sunni di Universitas
ternama di Indonesia. Ayahku memang peneliti syiah yang mendunia.
Kekhawatirannya akan perpecahan agamanya, membuatnya bertahan melawan arus
ketabuhan. Tak ayal, banyak ulama’, pihak konserfatif, menuduh ayahku
syiah.Tapi ayah selalu bilang, tak ada usaha tanpa ujian.Bahkan ayah semakin
gencar meneliti dan berusaha menemukan titik temu.
Teror demi terror menghampiri rumah kami. Hari demi demi
aku besarkan sebuah pertanyaan dalam angan-anganku, “Apa yang salah dengan
keluargaku?”. Ayah bukanlah seorang pembunuh, mafia, pengedar narkotika,
direktur diskotik malam. Bukan sama sekali. Beliau hanyalah seorang lelaki
paruh baya yang merintih kesakitan melihat peperangan sesama umat islam
sepanjang sejarah islam. Syiah dan sunni bagaikan dua kubu besar yang dipisah
sekat besar. Kematian bagi yang sengaja atau tidak mengusik sekat
itu.Kerisauhan itu ia tuangkan dalam bentuk penelitian. Bahkan ayah rela
merogoh kocek besar untuk pergi ke Iran demi meneliti islam disana, dulu saat
aku masih ingusan. Sampai akhirnya, desa ini kami pilih untuk tinggal.
“Yah, apa yang Ayah temukan
di Iran?”, tanyaku pad Ayah yang sedang menyeruputi kopi di pekarangan. Halaman
belakang rumah kami cukup luas, dengan hamparan pemandangan pegunungan yang
indah nian.
“Tak ada apa-apa.
Semuanya sama.”, ayah tak mengatakan lagi selain itu. Sejak dulu ayah tidak
suka basah-basih.Beranjak pergi dari kursi, menuju ruang perpustakaan
keluarga.Lima puluh tahun sudah buku perpus itu menjadi teman ayah. Kemudian
beliau sodorkan aku sebuah buku.Lumayan tebal.Aku baca judulnya, “Sunni-Syiah
adalah Sama”. Sudah aku duga, ayah akan menyuruhku membaca buku karyanya ini
sendiri. Ya…..setidaknya begitu menjadi anak seorang peneliti.Mengelus dada.
Bahkan temenku Bahdim, anak Ketua Ormas besar di desa ini lari tunggang
langgang hanya karena melihat foto ayah dengan Ayatullah Khomaeni dan
Ahmadinejad. ************
Malam hari yang
indah, cerah di desa ini. Angin malamnya sejuk sedang tak terlalu menusuk. Bau
gosong tercium dari belakang rumah.Ternyata bukan hanya aku, ayah dan ibu juga
terbangun dari tidur. Setelah lama bertatap-tatapan, kita mencari sumber asap.
“Ayah…………. Ruang
belakang terbakar!!!!”, teriakku denga
lantang serasa tak ada penghalang di sekitarku untuk berteriak panik. Mencari
timba, menyemprotkan air dengan selang. Hampir tak ada warga yang datang
membantu kami, kecuali dua keluarga tetangga kanan-kiri dua laki-laki dan satu
perempuan berkerudung yang datang membaca ember dan selang air besar. Dua jam
api dapat dipadamkan. Bagian belakang rumah habis dilalap si jago merah. Timbul
pertanyaan.Apa sebab kebakaran di rumah kami. Polisi tidak menemukan ada elpiji
meledak atau sambungan arus listrik yang konslet.Polisi hanya menemukan
kejanggalan.Jerigen minyak yang masih tersisa sedikit minyak tanah dan satu
sandal kaki kanan hijau yang ditemukan.Polisi berspekulasi ini tindak
pembakaran secara sengaja.Siapa pelakunya?Jerigen minyak?Sandal setengah
pasang? Tidak hanya kebakaran malam itu yang membuat kami ketakutan.Lebih
berbahaya lagi langkah orang-orang aneh ini.Tersebar di beberapa sudut desa,
brosur dan selebaran anti syiah.Bahkan dipampang foto ayah sebagai pembawa misi
syiah di desa ini. Fitnah apa lagi yang akan melanda keluargaku. Keluarga
seorang peneliti yang baru dua hari pindah sudah bersentuhan dengan kerasnya
pemberitaan bak media-media gossip di kota. Padahal kepindahan kemari untuk
mendapatkan kesejukan dan ketenangan.
“Sabar ya nak. Semua
pasti berlalu”, sambar ibuku dari berlakang menyentak lamunanku di depan rumah.
Aku takut ke sekolah.Entah sampai kapan aku harus meliburkan diri. Ayah dan Ibu
tak pernah bertanya kapan aku kembali ke sekolah. Aku sekarang goyah.Merasa
disekak.Syiah? Aku urungkan niatku tidak sekolah.Melihat raut muka ayah yang
tetap tegar, tegap, tidak gentar aku jadi malu-malu sendiri. SMU bukan usia
kecil. Berangkat sekolah.Semoga tidak terjadi apa-apa.Bismillah.
“Hahahahah anak
syiah berani ke sekolah, paling-paling ayahnya tukang kawin kontrak, hahahha.”,
seorang bertubuh gemuk tinggi dari belakangku menggunjingku penuh nada sinis.
Dua atau tiga orang itu menertawakanku terbahak-bahak.Sesekali ada nada ancaman
untuk seorang syiah yang mereka kafirkan. Aku tak mau menoleh.
“Sabar ya Ndre”,
suara perempuan nan sayu dari arah belakang. Aku masih canggung menoleh.“Tenang
saja aku tidak memusuhimu”, suara itu kembali muncul.Kali ini dia
mendekat.Sesosok perempuan berhijab mendatangiku.
“Kamu siapa?”,
tanyaku padanya. Perempuan ini anggun dan mempesona dengan balutan hijab yang
menawan.
“Aku Fatim. Kamu
tidak ingat aku?”, Fatim? Mencoba mengingat-ingat.Setelah 3 hari tinggal di
desa ini sepertinya belum aku kenal seorang Fatim.Bahkan aku belum mengenal
satu cewek pun disini.
“Hmmm ya sudah salam
kenal. Oya, soal perkataan dan perlakuan anak-anak jangan dihiraukan. Mereka
hanya anak kampung yang fanatik golongan agama. Mereka masih susah menerima
golongan lain berdampingan dengan mereka”, dia berkata dengan baik. Raut
mukanya mantab.Semakin yakin dia anak toleran.
“Lah kamu?Kok nggak
ikut-ikut mereka? Kamu kan anak sini juga.”,tanyaku sembari menatapi wajahnya
yang eksotis. Ya, dia terlihat cantik sekali.Tak habis pikir aku bakal punya
teman.
“Hmmm,,, mau aku
musuhi kamu juga? Nggak apa-apa sih,,,kalau kamu mau. Ya udah aku pergi.”,
beranjak dari tempat duduknya dengan wajah manyun ala anak-anak tidak diberi
permen.
“Jangan-jangan….aku
bercanda. Jangan ngambek donk! Aku senang sekali ada yang masih peduli sama
aku.”, aku mencegahnya pergi. Aku sadar aku butuh teman.Ya, walau hanya satu.
Langit Desa ini
menaungi dengan indah.Kesejukan anginya menambah suasana hatiku hari ini. Lambat
laun aku melupakan kejadian kemaren malam dan penghinaan teman-teman di
sekolah. Serasa dengan mengengal Fatim, aku tidak punya masalah. Sejak waktu
itu, di depan kelas, duduk bersama, ya kami selalu bersama. Ya memang hanya dia
yang mau bersamaku. Dia membuat suasanaku lebih ramai. Aku harap ini tidak
cepat berakhir.Hari-hariku seperti dipenuhi warna-warna indah menutupi
kehitaman yang setiap hari bermusuhan denganku dan keluargaku, mengancamku
dalam segala arah serba ada. Siang itu ktia pulang bersama. Faktanya kita
tetangga dan ayahnya adalah Pak Kades. Tapi aku belum berani mampir. Sampai
depan gerbang rumah, ibu terlihat duduk dilantai dengan muka sedih. Ada apa?
Anganku serta merta tersentak oleh pemandangan sekilas ini. Segera aku buka
gerbang dan aku ampiri perempuan hebat ini, “Ada apa Bu?”.
“Ayahmu nak.Ayahmu
menghilang sejak pagi. Ibu kira dia hanya olahraga di depan. Ternyata tidak
pulang sampai sekarang.Tau sendiri ayahmu gimana? Ibu khawatir, Nak.”,
perkataan ibu ini membuatku ikut hawatir. Sentak aku pergi dan menutup gerbang
dengan keras.Aku cari ayah.Mencoba membuang segala perasangka buruk.Mereka-reka
pransangka baik, aku lambatkan langkah, menarik nafas dan mencoba menenangkan
diri di tengah samudra sawah yang luas.Mengingat tempat yang disukai
ayah.Mungkin beliau hanya ingin relaksasi.
“Andre….!”, suara
tiba-tiba muncul dari arah mushollah. Seorang wanita memakai mukenah putih
menghampiriku.Ternyata dia adalah Fatim.“Ada apa Ndre? Kok kayaknya kamu
bingung sekali.”, Tanya dia dengan berlari.
“Ayahku pergi sejak
pagi belum kembali sampai sekarang.Tidak biasanya ayah keluar rumah selama
ini.Dia hanya menghabiskan sebagian besar waktunya didepan buku-buku dan
laptopnya.Meneliti, meneliti, dan meneliti.”, jelasku sembari mengusap
keringat.
“Ya sudah aku temani
ya?”, aku hanya bisa menganguk. Aku butuh teman mencari ayah. Ayah, dimana?
Sampai sore bergema.
Suara ayam kembali ke kandang. Matahari bersinar mengemuning telur setengah
matang, masih belum menemukan ayah. Aku suruh Fatim pulang, khawatir
keluarganya mencarinya dan marah-marah.Aku bingung mau kemana.Aku sempatkan ke
masjid dulu.Sejenak aku ingin berinteraksi dengan Allah. Suara adzan sedikit membantuku
menenangkan diri. Dalam munajatku, aku pinta kepada-Nya, agar Dia menjaga
ayahku dimana berada.Menjaganya terus tersenyum disela-sela mukanya yang
mengeriput. Hari ini ayah tidak ditemukan. Beranjak aku ke kantor kepala desa.
Disana Fatim sudah menunggu untuk mengantarkanku menemui ayahnya.Pak Kades
Bakir biasanya disebut warga, menemui kami di kantornya yang kecil
mungil.Disana ada foto Fatim masih kecil.
“Ada Apa Mas kemari?
Ada yang bisa saya bantu?”, Tanya Pak Kades.
“Ayah saya pergi
entah kemana tidak ada yang tahu. Saya cari dari siang tadi tidak ada di
kampung ini. Sedangkan motor, mobil, Handphone tidak dibawa oleh belau. Bahkan
baju beliau masih lengkap di rumah.”, jawabku.
“Mungkin keluar kota
kali Mas?”, Tanya Pak Kades sedikit menjengkelkan karena tidak ada gereget untuk
membantu sekerdar menanggapi saja.
“Tidak mungkin Pak.
Kalau keluar kota pasti ayah bawa barang-barang dan koper.Kemungkinan besar
ayah juga bawa mobil, tidak jalan kaki atau naik angkutan umum yang masih
jarang disini”, jawabku sedikit keras.
“Ya silahkan cari
dulu ya Mas, Saya mau Istirahat. Kalau mau besok saja sampyan ke kantor polisi
ya! Saya mau pulang”, aku diam. Fatim berubah masam. Tapi bagaimanapun itu
bapaknya. Ada kalimat pembelaan darinya. Aku sudah sangat marah. Tanpa kata,
pergi.
“Andre, tunggu!”,
aku tak menghiraukannya. “Andre biarkan aku membantumu, Andre…!”, aku tak
menghiraukannya. Dia berlari tapi aku tak kujung berkenan berhenti.Aku sudah
tertutup dengan kekecewaan Bapaknya yang mengacuhkanku.Aku pulang dan sudah tak
melihatnya kembali dari jauh.
Aku rebahkan
badanku di atas kasur empukku. Terdengar suara ibu mengangis di kamar menangisi
Ayah yang belum kembali. Pintu kamar ibu di kunci. Aku panggil-panggil namanya
dan aku ketuk-ketuk pintu kamar, tapi tetap ia menangis dan tak berkenan
membukakan pintu. Mungkin Ibu masih sangat shok. Aku biarkan dulu Ibu begitu. Aku
besok harus ke kantor Resort kepolisian. Aku akan berjuangan mencari ayah dan mencari keadilan. Aku menduga ayah
menghilang tidak wajar.Tetangga tidak ada yang tahu.Bahkan kepala desa tidak
mau tahu.Ya Allah, ini berat bagi hamba.
*******************
Pagi hari
keempat kepindahan kami dan hari kedua hilangnya Ayah, aku bergegas menuju
kantor polisi dengan motor. Menghindari antrian yang panjang. Biasanya kantor
polisi di depan kecamatan itu ramai oleh warga yang melapor atau mengurusi
surat-surat. Ditengah jalan, Fatim memberhentikanku secara paksa. Dia bilang
akan membantuku ke kantor polisi. Dengan membewa beberapa carik kertas entah
bertuliskan apa, dia beranjak mendekatiku dan memintaku memperkenankannya.
Suara lembutnya tak bisa membuat aku menolak. Malah aku heran paska sikap
acuhku tadi malam, bukan kecewa, Ia malah membuatkan laporan kronologi segala
peristiwa sebelum ayah menghilang langkap dengan keterangan barang bukti yang
ada. Tapi aku lihat ada yang aneh dari mukanya. Mukanya memar.
“Mukamu kenapa kok
memar gitu? Ada bercak darah yang belum terusap lagi? ada apa?”, tanyaku
setelah aku melihat ada 2 bekas luka memar di mukanya.
“Nggak ada
apa-apa Ndre. Cuma tadi ketabrak tembok, eh maaf nabrak tembok hehehe.”, masih
sempat ia bercanda. Aku yakin ia menutupi sesuatu dariku. Dugaanku dia dipukul
ayahnya. Kami berdua menuju ke kantor polisi. Sekitar 10 KM dari sini.Fatim aku
bonceng dibelakang. Aku menjadi semakin susah membiarkannya lagi. Dia terlalu
baik untuk aku bentak.Melewati rerimbunan persawahan, kami terus bergurau.Fatim
paling pintar membekukan penat, dan mencairkan suasana.Kami juga berbincang
masalah syiah.Dia ingin tau syiah sebenarnya.Karena dia merasa heran dengan masyarakat
sini yang sangat fanatik dan membenci syiah.Bahkan dia berspekulasi, bahwa
hilangnya ayahku karena penculikan.Ya, penculikan karena ayah adalah peneliti
syiah. Memang soal terror sejak tinggal di kota kami kenyang dengan berurusan
dengan makanan keras ini. Mulai dari bom molotof depan rumah, pelemparan kaca,
pengotoran rumah dengan tai, dan masih banyak lagi. tapi ayah tak pernah takut
dan gentar. Malah semakin menjadi-jadi penelitiannya.
Di kantor
polisi kami beruntung tidak mengantri. Karena kami pelapor pertama pagi
ini.Tapi seteah melapor, menyerahkan berkas-berkas laporan dan barang
bukti.Kami malah disuruh menunggu tanpa kepastian di ruang tunggu kotor.Kami
tidak dilayani.Bahkan berkas kami dibawa dan tidak tahu dikemanakan,
bolak-balik berkali-kali aku pertanyakan, lagi-lagi petugas kepolisian malah
meminta kami datang kapan-kapan.Apa-apaan ini.
“Pak anda ini
dibayar berapa sama yang nyulik Ayah
saya? Saya menunggu sudah 2 jam, masih saja disuruh nunggu.Berkas kami juga
tidak diproses.Penegak keadilan apa penegak kedholiman?”, teriakku di depan
para polisi kurang bertanggung jawab itu. Tidak malah dibantu, aku dan Fatiim
diusir dan dilarang datang kemari.Parahnya lagi kami diancam dipenjara.Padahal
kami menuntut penculik ayah dipenjara kok malah kami yang dipenjara.Negeri ini
aneh. Kenapa memperjuangkan keadilan sangat susah dan bahkan mungkin mahal
harganya. Kantong para penegak hukum, diisi kocekan receh remeh.Serdadu Negara
berubah jadi kumbang penghisap madu tetangga.Benar-benar kecewa.
Pulang dengan
tangan hampa membuatku terpukul, tak henti-henti Fatim menenangkanku. Mampir di
warung es degan ijo, mencoba kami mencari jalan keluar lain sambil menyeruput
degan yang sangat menyegarkan. Akhirnya kami punya ide, aku coba menghubungi
teman-teman ayah seperjuangan di lembaga penelitian di Kota. Ayah dulu bekerja
di lembaga tersebut sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah ke desa. Hasilnya,
kami mendapatkan bantuan dari Om Stefan dan Mas Danang.Dua orang ini sahabat
ayah.Om Stefan adalah orang kepercayaan ayah dalam penelitian ke Iran.Mereka
berdua satu ideologi tentang perdamaian syiah-sunni. Bahkan Om Stefan yang
lulusan Pondok Pesantren Tebuireng yang terkenal itu, baru-baru ini membuat
buku tentang tafsir qur’an perdamaian. Sedangkan Mas Danang adalah orang
liberal yang sangat percaya dengan misi ayah. Mereka bertiga sahabat
seperjuangan dalam mendamaikan syiah sunni. Mereka bertiga mendirikan aliansi
islam damai anti kekerasan(AISTIKA). Mereka dijadwalkan datang besok.
Sepulang dari
kantor polisi, aku antarkan Fatim pulang cepat sebab ibu sakit. Sambutan hangat
yang diharapkan berbalik 180’. Aku diusir dan diancam akan dilaporkan kepolisi
dengan tuduhan penculikan anaknya. Kata-kata syiah kembali aku terima.Kali ini
dari lidah bapak sahabat baikku.Tidak hanya itu, Pak Kades memukul Fatim dan
memarahinya mati-matian. Aku tak bisa menolong, kalau aku menolong malah akan
memperparah keadaan. Fatim maafkan aku, semoga kau tidur nyenyak malam ini.Terima
kasih, kamu sahabat terbaiku.
**************
Kedatangan Om Stefan
dan Mas Danang membuatku terkagum.Tidak membutuhkan istirahat bak supermen
mereka langsung membeber kasus dan menganalisa semua barang bukti. Mereka
langsung mengintrogasiku, ibu dan Fatim sebagai saksi kebakaran dan saksi
sebuah situasi aneh yang terjadi di desa dan kantor kepolisian. Spekulasi
mereka sama, seperti ada konspirasi penculikan.
Setelah itu,
datang pula saudara-saudara ayah dan saudara Ibu, mereka semua membuat poros
baru memperjuangkan keadilan. Mereka membuat organisasi khusus untuk menangani
kasus ayah yang diberi nama gerakan keadilan untuk Abdur Rahman(GEKAR). Sudah 5 hari ayah belum
ditemukan.Kegiatan advokasi terus mendesak penegak keadilan untuk mengusut
kasus ini. Tapi lagi-lagi mereka mempersulit semua proses. Dari tingkat desa
sampai provinsi terkesan tutup rapat proses. Persoalan ini membesar, media-media
sudah menangkap kasus ini dan mereka sudah membawanya ke tingkat pemberitaan
nasional. gerakan dukungan untuk ayah berkoar dimana-mana. Tapi sampai
berhari-hari kasus ini tidak ditemukan titik temunya.Ayah, hidup atau mati
harus ditemukan.Karena harga mati untuk mengetahui pelakunya adalah
ayah.Pelacakan sidik jari jerigen minyak yang ditemukan di tempat kebakaran dan
pelecakan sandal hijau yang kehilangan pasangan kanannya masih nihil, karena
mereka disinyalir memakai sarung tangan dan kaos kaki. Fatim sudah dilarang
Bapaknya untuk mengikuti jejak kami.Dia dikurung di rumah.Jujur aku
merindukannya.Karena dia yang membantuku dari awal untuk memperjuangkan kasus
ini.Ingin aku menemuinya, tapi itu sangat beresiko baginya.“Ada orang
melemparkan Batu berbalut kertas berdarah”, dari luar ada seorang
berteriak.Serentak kamu semua keluar rumah. Disana Om Stefan sudah membawa
secarik kertas yang ada bercak darahnya.
“Kertas ini
bertuliskan, bahwa ayahmu ada disuatu bangunan tua di kota Surabaya.Tidak ada
yang boleh kesana kecuali kamu Ndre.Om kira nggak usah, ini jebakan. Om nggak
bisa biarkan kamu sendiri.”.
“Tapi Om gimana
dengan Ayahku?”, tanyaku sedikit panik.
“HMmmmm(berfikir)…..begini
saja, kamu akan kami kirim kesana. Kamu masih bisa beladiri yang Om ajarkan
dulu kan?”, aku mantuk-mantuk saja. “Lah disitu nanti kami akan memulai
penggerebekan markas itu. Om kira tempat ini benar-benar markas”.
Siang itu juga
dengan rombongan bersenjata dari brimob dan TNI yang ikut membela kami. Atasan mereka tidak
memberikan izin bergerak. Mereka yang ikut adalah rata-rata sahabat ayah atau
purnawirawan TNI yang dulu sempat bersama ayah yang tergugah hatinya untuk
membantu kasus ini. Tiga truk kami berangkat dengan senjata tersembunyikan dari
penglihatan publik.Sedangkan aku memakai motor sendiiri. Karena dikawatirkan
akan ketahuan. Radius 500 meter pasukan sudah harus membiarkanku sendiri.Aku
lah sendiri yang menuju ke bangunan itu.Aku tidak membawa senjata. Saat aku
menoleh ke belakang, ternyata ada masalah besar. Sepertinya pergerakan kami
sudah dimata-matai. Anehnya yang menghadang kami adalah dari pihak berwajib
penegak keadilan dan para pasukan yang mengaku sunni. Mereka berbaju hitam dan
dipenuhi tuliskan Lailahailla dan Muhammad Rasulullah. Terjadi baku tembak
disana. Aku bingung, apa yang seharusnya aku lakukan. Penyerangan yang berat
sebelah bagaikan perang badar.Ada sms masuk dari Fatim,”Kejadian ini sudah
terlalu cepat untuk masuk media, Televisi sudah sangat rajin meliput, di
beberapa media, dicantumkan judul “Perang Sunni-Syiah”.Apa? Kebodohan apa lagi
yang orang-orang lakukan? Siapa yang sunni siapa yang Syiah? Ini sudah sangat
gila.Sudahlah aku tak perlu mikir panjang.Segera aku lari dengan super
hati-hati, karena ada penjagaan ketat dimana-mana.Tapi ada cela di sekitar
pojok kanan.Penjaganya sedang berbincang-bincang.Mengalihkan perhatian ke arah
kanan.Mereka tertipu, segera aku masuk.Aku mengintip di cela-cela pintu.Betapa
tercengang aku melihat lelaki yang aku cari, terbaring kaku diatas balok kayu
dengan tali pengikat disekujur tubuh. Di sana pasukan berbaju hitam pekat
membawa senjata lengkap menjaga dengan ketat. Terjadi tembakan tiba-tiba dari
luar sana. Om Stefan dan Mas Danang datang dengan senjata lengkap.Tembakan
bertubi-tubi berhasil merobohkan beberapa orang berhitam-hitam itu.Tapi karena
jumlah yang tidak seimbang puluhan lawan dua orang, tentu saja sangat sukar
menang.“Andre Selamatkan ayahmu”, teriak Om Stefan.nafas aku tarik dalam-dalam
aku fokuskan pada tubuh tua lemah di depan. aku lari, dalam pikiranku hanya
ayah. “Dorr” dari kananku terdengar.Seorang perempuan berbaju hitam terbuai
lemah dengan darah mengalir dari perutnya.Segera aku tolong dia. Dia yang
menghalangi sebuah tembakan yang seharusnya diarahkan padaku.Aku buka
cadarnya.Lemas, seperti dipalu bertubi-tubi lebih dari terkena sebuah
tembakan.Perempuan itu satu-satunya sahabatku, entah dari mana dia bisa
masuk.Menyamar ya dia menyamar.Aku kehabisan pikiran, “Fatimmmmmmmmmmmmmm”,
perempuan itu Fatim.
“Andre, selamatkan
ayahmu. Maafkan aku! Asy…had,,,hadddduuu alllllaaahhh ilaaaaha ,,ill
,,illallah, Muhammad Rasul sul sul lallah!”, tubuhnya melemas, dia sudah tak
bernafas. Fatim, merelakan nyawanya demi aku.Pasukan kita menang Fatim, pasukan
yang sebenarnya kamulah pemimpinnya. Ayah sudah bebas, tapi harus mengorbankan
sahabatku satu-satunya, aku akan rindu senyumannya. Sampai akhit hayatnya aku
belum sempat mengatakan bahwa aku menyukainya. Hanya di depan jasad tak
bernyawa ini aku bisa sampaikan itu.
Ayah, Om Stefan dan Mas Danang di belakangku menepuk bahuku, Berakhirlah
peperangan ingin, entah siapa yang mendahlui.Ada banyak hal bisa aku dapatkan.
Ada banyak yang didapat tapi juga ada yang terlepas hilang, Ayah kembali
ditengah keluarga. Tentunya Ibu sangat bahagia dengan itu.Tapi sampai entah
kapan ada yang masih mengganjal di hati.Fatim masih selalu ada disekitarku
membayangiku.Aku benci perang.Aku benci Syaih-Sunni ada di dunia. Menurutku,
adanya islam saja cukup, kenapa harus ditambah dengan adanya golongan aneh yang
terus menghantui dunia islam. Sejak detik ini, aku berjuang bersama ayah untuk perdamaian
islam. Islam yang benar-benar damai. Aku bukan syiah sekali lagi aku keluargaku
bukan syiah. Itu hanya masalah kepercayaan. Kami ingin mendamaikan. Kenapa kami
harus diperangi.
Setelah pertempuran hebat yang memakan banyak korban itu, pemerintah
melarang Ormas islam berkeliaran dimana tanpa izin pemerintah, sebuah
pertempuran yang tidak usah terjadi sebenarnya, melukai pancasila dan merobek-robek
garuda. Sunni Syiah apa kabarmu di Surga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar