Sabtu, 15 November 2014

Hitam Berdarah

“Negeri Ini dibangun atas dasar toleransi.Pancasila dasar Negara telah mengumandankan bineka tunggal ika. Maka kita sebagai rakyat Indonesia wajib menjunjung tinggi toleransi baik dalam beragama maupun berbangsa dan bernegara.”, seorang guru PPKN bertubuh gempal pendek, tapi berwibawa. Belakang aku baru tau dia adalah Pak Mulyanto, guru senior di sekolah SMA. Aku baru saja tahu, bahkan semua guru aku baru saja tahu. Aku baru saja pindah dari Kota ke Desa ini.
          Ayahku, Abdur Rahman ingin mencari ketenangan di desa. Bertahun-tahun tinggal di kota menjadi peneliti Syiah-Sunni  di Universitas ternama di Indonesia. Ayahku memang peneliti syiah yang mendunia. Kekhawatirannya akan perpecahan agamanya, membuatnya bertahan melawan arus ketabuhan. Tak ayal, banyak ulama’, pihak konserfatif, menuduh ayahku syiah.Tapi ayah selalu bilang, tak ada usaha tanpa ujian.Bahkan ayah semakin gencar meneliti dan berusaha menemukan titik temu.
          Teror demi  terror menghampiri rumah kami. Hari demi demi aku besarkan sebuah pertanyaan dalam angan-anganku, “Apa yang salah dengan keluargaku?”. Ayah bukanlah seorang pembunuh, mafia, pengedar narkotika, direktur diskotik malam. Bukan sama sekali. Beliau hanyalah seorang lelaki paruh baya yang merintih kesakitan melihat peperangan sesama umat islam sepanjang sejarah islam. Syiah dan sunni bagaikan dua kubu besar yang dipisah sekat besar. Kematian bagi yang sengaja atau tidak mengusik sekat itu.Kerisauhan itu ia tuangkan dalam bentuk penelitian. Bahkan ayah rela merogoh kocek besar untuk pergi ke Iran demi meneliti islam disana, dulu saat aku masih ingusan. Sampai akhirnya, desa ini kami pilih untuk tinggal.
          “Yah, apa yang Ayah temukan di Iran?”, tanyaku pad Ayah yang sedang menyeruputi kopi di pekarangan. Halaman belakang rumah kami cukup luas, dengan hamparan pemandangan pegunungan yang indah nian.
          “Tak ada apa-apa. Semuanya sama.”, ayah tak mengatakan lagi selain itu. Sejak dulu ayah tidak suka basah-basih.Beranjak pergi dari kursi, menuju ruang perpustakaan keluarga.Lima puluh tahun sudah buku perpus itu menjadi teman ayah. Kemudian beliau sodorkan aku sebuah buku.Lumayan tebal.Aku baca judulnya, “Sunni-Syiah adalah Sama”. Sudah aku duga, ayah akan menyuruhku membaca buku karyanya ini sendiri. Ya…..setidaknya begitu menjadi anak seorang peneliti.Mengelus dada. Bahkan temenku Bahdim, anak Ketua Ormas besar di desa ini lari tunggang langgang hanya karena melihat foto ayah dengan Ayatullah Khomaeni dan Ahmadinejad.         ************

          Malam hari yang indah, cerah di desa ini. Angin malamnya sejuk sedang tak terlalu menusuk. Bau gosong tercium dari belakang rumah.Ternyata bukan hanya aku, ayah dan ibu juga terbangun dari tidur. Setelah lama bertatap-tatapan, kita mencari sumber asap.
          “Ayah…………. Ruang belakang  terbakar!!!!”, teriakku denga lantang serasa tak ada penghalang di sekitarku untuk berteriak panik. Mencari timba, menyemprotkan air dengan selang. Hampir tak ada warga yang datang membantu kami, kecuali dua keluarga tetangga kanan-kiri dua laki-laki dan satu perempuan berkerudung yang datang membaca ember dan selang air besar. Dua jam api dapat dipadamkan. Bagian belakang rumah habis dilalap si jago merah. Timbul pertanyaan.Apa sebab kebakaran di rumah kami. Polisi tidak menemukan ada elpiji meledak atau sambungan arus listrik yang konslet.Polisi hanya menemukan kejanggalan.Jerigen minyak yang masih tersisa sedikit minyak tanah dan satu sandal kaki kanan hijau yang ditemukan.Polisi berspekulasi ini tindak pembakaran secara sengaja.Siapa pelakunya?Jerigen minyak?Sandal setengah pasang? Tidak hanya kebakaran malam itu yang membuat kami ketakutan.Lebih berbahaya lagi langkah orang-orang aneh ini.Tersebar di beberapa sudut desa, brosur dan selebaran anti syiah.Bahkan dipampang foto ayah sebagai pembawa misi syiah di desa ini. Fitnah apa lagi yang akan melanda keluargaku. Keluarga seorang peneliti yang baru dua hari pindah sudah bersentuhan dengan kerasnya pemberitaan bak media-media gossip di kota. Padahal kepindahan kemari untuk mendapatkan kesejukan dan ketenangan.
          “Sabar ya nak. Semua pasti berlalu”, sambar ibuku dari berlakang menyentak lamunanku di depan rumah. Aku takut ke sekolah.Entah sampai kapan aku harus meliburkan diri. Ayah dan Ibu tak pernah bertanya kapan aku kembali ke sekolah. Aku sekarang goyah.Merasa disekak.Syiah? Aku urungkan niatku tidak sekolah.Melihat raut muka ayah yang tetap tegar, tegap, tidak gentar aku jadi malu-malu sendiri. SMU bukan usia kecil. Berangkat sekolah.Semoga tidak terjadi apa-apa.Bismillah.
          “Hahahahah anak syiah berani ke sekolah, paling-paling ayahnya tukang kawin kontrak, hahahha.”, seorang bertubuh gemuk tinggi dari belakangku menggunjingku penuh nada sinis. Dua atau tiga orang itu menertawakanku terbahak-bahak.Sesekali ada nada ancaman untuk seorang syiah yang mereka kafirkan. Aku tak mau menoleh.
          “Sabar ya Ndre”, suara perempuan nan sayu dari arah belakang. Aku masih canggung menoleh.“Tenang saja aku tidak memusuhimu”, suara itu kembali muncul.Kali ini dia mendekat.Sesosok perempuan berhijab mendatangiku.
          “Kamu siapa?”, tanyaku padanya. Perempuan ini anggun dan mempesona dengan balutan hijab yang menawan.
          “Aku Fatim. Kamu tidak ingat aku?”, Fatim? Mencoba mengingat-ingat.Setelah 3 hari tinggal di desa ini sepertinya belum aku kenal seorang Fatim.Bahkan aku belum mengenal satu cewek pun disini.
          “Hmmm ya sudah salam kenal. Oya, soal perkataan dan perlakuan anak-anak jangan dihiraukan. Mereka hanya anak kampung yang fanatik golongan agama. Mereka masih susah menerima golongan lain berdampingan dengan mereka”, dia berkata dengan baik. Raut mukanya mantab.Semakin yakin dia anak toleran.
          “Lah kamu?Kok nggak ikut-ikut mereka? Kamu kan anak sini juga.”,tanyaku sembari menatapi wajahnya yang eksotis. Ya, dia terlihat cantik sekali.Tak habis pikir aku bakal punya teman.
          “Hmmm,,, mau aku musuhi kamu juga? Nggak apa-apa sih,,,kalau kamu mau. Ya udah aku pergi.”, beranjak dari tempat duduknya dengan wajah manyun ala anak-anak tidak diberi permen.
          “Jangan-jangan….aku bercanda. Jangan ngambek donk! Aku senang sekali ada yang masih peduli sama aku.”, aku mencegahnya pergi. Aku sadar aku butuh teman.Ya, walau hanya satu.
          Langit Desa ini menaungi dengan indah.Kesejukan anginya menambah suasana hatiku hari ini. Lambat laun aku melupakan kejadian kemaren malam dan penghinaan teman-teman di sekolah. Serasa dengan mengengal Fatim, aku tidak punya masalah. Sejak waktu itu, di depan kelas, duduk bersama, ya kami selalu bersama. Ya memang hanya dia yang mau bersamaku. Dia membuat suasanaku lebih ramai. Aku harap ini tidak cepat berakhir.Hari-hariku seperti dipenuhi warna-warna indah menutupi kehitaman yang setiap hari bermusuhan denganku dan keluargaku, mengancamku dalam segala arah serba ada. Siang itu ktia pulang bersama. Faktanya kita tetangga dan ayahnya adalah Pak Kades. Tapi aku belum berani mampir. Sampai depan gerbang rumah, ibu terlihat duduk dilantai dengan muka sedih. Ada apa? Anganku serta merta tersentak oleh pemandangan sekilas ini. Segera aku buka gerbang dan aku ampiri perempuan hebat ini, “Ada apa Bu?”.
          “Ayahmu nak.Ayahmu menghilang sejak pagi. Ibu kira dia hanya olahraga di depan. Ternyata tidak pulang sampai sekarang.Tau sendiri ayahmu gimana? Ibu khawatir, Nak.”, perkataan ibu ini membuatku ikut hawatir. Sentak aku pergi dan menutup gerbang dengan keras.Aku cari ayah.Mencoba membuang segala perasangka buruk.Mereka-reka pransangka baik, aku lambatkan langkah, menarik nafas dan mencoba menenangkan diri di tengah samudra sawah yang luas.Mengingat tempat yang disukai ayah.Mungkin beliau hanya ingin relaksasi.
          “Andre….!”, suara tiba-tiba muncul dari arah mushollah. Seorang wanita memakai mukenah putih menghampiriku.Ternyata dia adalah Fatim.“Ada apa Ndre? Kok kayaknya kamu bingung sekali.”, Tanya dia dengan berlari.
          “Ayahku pergi sejak pagi belum kembali sampai sekarang.Tidak biasanya ayah keluar rumah selama ini.Dia hanya menghabiskan sebagian besar waktunya didepan buku-buku dan laptopnya.Meneliti, meneliti, dan meneliti.”, jelasku sembari mengusap keringat.
          “Ya sudah aku temani ya?”, aku hanya bisa menganguk. Aku butuh teman mencari ayah. Ayah, dimana?
          Sampai sore bergema. Suara ayam kembali ke kandang. Matahari bersinar mengemuning telur setengah matang, masih belum menemukan ayah. Aku suruh Fatim pulang, khawatir keluarganya mencarinya dan marah-marah.Aku bingung mau kemana.Aku sempatkan ke masjid dulu.Sejenak aku ingin berinteraksi dengan Allah. Suara adzan sedikit membantuku menenangkan diri. Dalam munajatku, aku pinta kepada-Nya, agar Dia menjaga ayahku dimana berada.Menjaganya terus tersenyum disela-sela mukanya yang mengeriput. Hari ini ayah tidak ditemukan. Beranjak aku ke kantor kepala desa. Disana Fatim sudah menunggu untuk mengantarkanku menemui ayahnya.Pak Kades Bakir biasanya disebut warga, menemui kami di kantornya yang kecil mungil.Disana ada foto Fatim masih kecil.
          “Ada Apa Mas kemari? Ada yang bisa saya bantu?”, Tanya Pak Kades.
          “Ayah saya pergi entah kemana tidak ada yang tahu. Saya cari dari siang tadi tidak ada di kampung ini. Sedangkan motor, mobil, Handphone tidak dibawa oleh belau. Bahkan baju beliau masih lengkap di rumah.”, jawabku.
          “Mungkin keluar kota kali Mas?”, Tanya Pak Kades sedikit menjengkelkan karena tidak ada gereget untuk membantu sekerdar menanggapi saja.
          “Tidak mungkin Pak. Kalau keluar kota pasti ayah bawa barang-barang dan koper.Kemungkinan besar ayah juga bawa mobil, tidak jalan kaki atau naik angkutan umum yang masih jarang disini”, jawabku sedikit keras.
          “Ya silahkan cari dulu ya Mas, Saya mau Istirahat. Kalau mau besok saja sampyan ke kantor polisi ya! Saya mau pulang”, aku diam. Fatim berubah masam. Tapi bagaimanapun itu bapaknya. Ada kalimat pembelaan darinya. Aku sudah sangat marah. Tanpa kata, pergi.
          “Andre, tunggu!”, aku tak menghiraukannya. “Andre biarkan aku membantumu, Andre…!”, aku tak menghiraukannya. Dia berlari tapi aku tak kujung berkenan berhenti.Aku sudah tertutup dengan kekecewaan Bapaknya yang mengacuhkanku.Aku pulang dan sudah tak melihatnya kembali dari jauh.
Aku rebahkan badanku di atas kasur empukku. Terdengar suara ibu mengangis di kamar menangisi Ayah yang belum kembali. Pintu kamar ibu di kunci. Aku panggil-panggil namanya dan aku ketuk-ketuk pintu kamar, tapi tetap ia menangis dan tak berkenan membukakan pintu. Mungkin Ibu masih sangat shok. Aku biarkan dulu Ibu begitu. Aku besok harus ke kantor Resort kepolisian. Aku akan berjuangan mencari  ayah dan mencari keadilan. Aku menduga ayah menghilang tidak wajar.Tetangga tidak ada yang tahu.Bahkan kepala desa tidak mau tahu.Ya Allah, ini berat bagi hamba.
*******************
Pagi hari keempat kepindahan kami dan hari kedua hilangnya Ayah, aku bergegas menuju kantor polisi dengan motor. Menghindari antrian yang panjang. Biasanya kantor polisi di depan kecamatan itu ramai oleh warga yang melapor atau mengurusi surat-surat. Ditengah jalan, Fatim memberhentikanku secara paksa. Dia bilang akan membantuku ke kantor polisi. Dengan membewa beberapa carik kertas entah bertuliskan apa, dia beranjak mendekatiku dan memintaku memperkenankannya. Suara lembutnya tak bisa membuat aku menolak. Malah aku heran paska sikap acuhku tadi malam, bukan kecewa, Ia malah membuatkan laporan kronologi segala peristiwa sebelum ayah menghilang langkap dengan keterangan barang bukti yang ada. Tapi aku lihat ada yang aneh dari mukanya. Mukanya memar.
          “Mukamu kenapa kok memar gitu? Ada bercak darah yang belum terusap lagi? ada apa?”, tanyaku setelah aku melihat ada 2 bekas luka memar di mukanya.
“Nggak ada apa-apa Ndre. Cuma tadi ketabrak tembok, eh maaf nabrak tembok hehehe.”, masih sempat ia bercanda. Aku yakin ia menutupi sesuatu dariku. Dugaanku dia dipukul ayahnya. Kami berdua menuju ke kantor polisi. Sekitar 10 KM dari sini.Fatim aku bonceng dibelakang. Aku menjadi semakin susah membiarkannya lagi. Dia terlalu baik untuk aku bentak.Melewati rerimbunan persawahan, kami terus bergurau.Fatim paling pintar membekukan penat, dan mencairkan suasana.Kami juga berbincang masalah syiah.Dia ingin tau syiah sebenarnya.Karena dia merasa heran dengan masyarakat sini yang sangat fanatik dan membenci syiah.Bahkan dia berspekulasi, bahwa hilangnya ayahku karena penculikan.Ya, penculikan karena ayah adalah peneliti syiah. Memang soal terror sejak tinggal di kota kami kenyang dengan berurusan dengan makanan keras ini. Mulai dari bom molotof depan rumah, pelemparan kaca, pengotoran rumah dengan tai, dan masih banyak lagi. tapi ayah tak pernah takut dan gentar. Malah semakin menjadi-jadi penelitiannya.
Di kantor polisi kami beruntung tidak mengantri. Karena kami pelapor pertama pagi ini.Tapi seteah melapor, menyerahkan berkas-berkas laporan dan barang bukti.Kami malah disuruh menunggu tanpa kepastian di ruang tunggu kotor.Kami tidak dilayani.Bahkan berkas kami dibawa dan tidak tahu dikemanakan, bolak-balik berkali-kali aku pertanyakan, lagi-lagi petugas kepolisian malah meminta kami datang kapan-kapan.Apa-apaan ini.
“Pak anda ini dibayar berapa sama  yang nyulik Ayah saya? Saya menunggu sudah 2 jam, masih saja disuruh nunggu.Berkas kami juga tidak diproses.Penegak keadilan apa penegak kedholiman?”, teriakku di depan para polisi kurang bertanggung jawab itu. Tidak malah dibantu, aku dan Fatiim diusir dan dilarang datang kemari.Parahnya lagi kami diancam dipenjara.Padahal kami menuntut penculik ayah dipenjara kok malah kami yang dipenjara.Negeri ini aneh. Kenapa memperjuangkan keadilan sangat susah dan bahkan mungkin mahal harganya. Kantong para penegak hukum, diisi kocekan receh remeh.Serdadu Negara berubah jadi kumbang penghisap madu tetangga.Benar-benar kecewa.
Pulang dengan tangan hampa membuatku terpukul, tak henti-henti Fatim menenangkanku. Mampir di warung es degan ijo, mencoba kami mencari jalan keluar lain sambil menyeruput degan yang sangat menyegarkan. Akhirnya kami punya ide, aku coba menghubungi teman-teman ayah seperjuangan di lembaga penelitian di Kota. Ayah dulu bekerja di lembaga tersebut sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah ke desa. Hasilnya, kami mendapatkan bantuan dari Om Stefan dan Mas Danang.Dua orang ini sahabat ayah.Om Stefan adalah orang kepercayaan ayah dalam penelitian ke Iran.Mereka berdua satu ideologi tentang perdamaian syiah-sunni. Bahkan Om Stefan yang lulusan Pondok Pesantren Tebuireng yang terkenal itu, baru-baru ini membuat buku tentang tafsir qur’an perdamaian. Sedangkan Mas Danang adalah orang liberal yang sangat percaya dengan misi ayah. Mereka bertiga sahabat seperjuangan dalam mendamaikan syiah sunni. Mereka bertiga mendirikan aliansi islam damai anti kekerasan(AISTIKA). Mereka dijadwalkan datang besok.
Sepulang dari kantor polisi, aku antarkan Fatim pulang cepat sebab ibu sakit. Sambutan hangat yang diharapkan berbalik 180’. Aku diusir dan diancam akan dilaporkan kepolisi dengan tuduhan penculikan anaknya. Kata-kata syiah kembali aku terima.Kali ini dari lidah bapak sahabat baikku.Tidak hanya itu, Pak Kades memukul Fatim dan memarahinya mati-matian. Aku tak bisa menolong, kalau aku menolong malah akan memperparah keadaan. Fatim maafkan aku, semoga kau tidur nyenyak malam ini.Terima kasih, kamu sahabat terbaiku.
**************
          Kedatangan Om Stefan dan Mas Danang membuatku terkagum.Tidak membutuhkan istirahat bak supermen mereka langsung membeber kasus dan menganalisa semua barang bukti. Mereka langsung mengintrogasiku, ibu dan Fatim sebagai saksi kebakaran dan saksi sebuah situasi aneh yang terjadi di desa dan kantor kepolisian. Spekulasi mereka sama, seperti ada konspirasi penculikan.     
Setelah itu, datang pula saudara-saudara ayah dan saudara Ibu, mereka semua membuat poros baru memperjuangkan keadilan. Mereka membuat organisasi khusus untuk menangani kasus ayah yang diberi nama gerakan keadilan untuk  Abdur Rahman(GEKAR). Sudah 5 hari ayah belum ditemukan.Kegiatan advokasi terus mendesak penegak keadilan untuk mengusut kasus ini. Tapi lagi-lagi mereka mempersulit semua proses. Dari tingkat desa sampai provinsi terkesan tutup rapat proses. Persoalan ini membesar, media-media sudah menangkap kasus ini dan mereka sudah membawanya ke tingkat pemberitaan nasional. gerakan dukungan untuk ayah berkoar dimana-mana. Tapi sampai berhari-hari kasus ini tidak ditemukan titik temunya.Ayah, hidup atau mati harus ditemukan.Karena harga mati untuk mengetahui pelakunya adalah ayah.Pelacakan sidik jari jerigen minyak yang ditemukan di tempat kebakaran dan pelecakan sandal hijau yang kehilangan pasangan kanannya masih nihil, karena mereka disinyalir memakai sarung tangan dan kaos kaki. Fatim sudah dilarang Bapaknya untuk mengikuti jejak kami.Dia dikurung di rumah.Jujur aku merindukannya.Karena dia yang membantuku dari awal untuk memperjuangkan kasus ini.Ingin aku menemuinya, tapi itu sangat beresiko baginya.“Ada orang melemparkan Batu berbalut kertas berdarah”, dari luar ada seorang berteriak.Serentak kamu semua keluar rumah. Disana Om Stefan sudah membawa secarik kertas  yang ada bercak darahnya.
          “Kertas ini bertuliskan, bahwa ayahmu ada disuatu bangunan tua di kota Surabaya.Tidak ada yang boleh kesana kecuali kamu Ndre.Om kira nggak usah, ini jebakan. Om nggak bisa biarkan kamu sendiri.”.
          “Tapi Om gimana dengan Ayahku?”, tanyaku sedikit panik.
          “HMmmmm(berfikir)…..begini saja, kamu akan kami kirim kesana. Kamu masih bisa beladiri yang Om ajarkan dulu kan?”, aku mantuk-mantuk saja. “Lah disitu nanti kami akan memulai penggerebekan markas itu. Om kira tempat ini benar-benar markas”.
          Siang itu juga dengan rombongan bersenjata dari brimob dan TNI  yang ikut membela kami. Atasan mereka tidak memberikan izin bergerak. Mereka yang ikut adalah rata-rata sahabat ayah atau purnawirawan TNI yang dulu sempat bersama ayah yang tergugah hatinya untuk membantu kasus ini. Tiga truk kami berangkat dengan senjata tersembunyikan dari penglihatan publik.Sedangkan aku memakai motor sendiiri. Karena dikawatirkan akan ketahuan. Radius 500 meter pasukan sudah harus membiarkanku sendiri.Aku lah sendiri yang menuju ke bangunan itu.Aku tidak membawa senjata. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata ada masalah besar. Sepertinya pergerakan kami sudah dimata-matai. Anehnya yang menghadang kami adalah dari pihak berwajib penegak keadilan dan para pasukan yang mengaku sunni. Mereka berbaju hitam dan dipenuhi tuliskan Lailahailla dan Muhammad Rasulullah. Terjadi baku tembak disana. Aku bingung, apa yang seharusnya aku lakukan. Penyerangan yang berat sebelah bagaikan perang badar.Ada sms masuk dari Fatim,”Kejadian ini sudah terlalu cepat untuk masuk media, Televisi sudah sangat rajin meliput, di beberapa media, dicantumkan judul “Perang Sunni-Syiah”.Apa? Kebodohan apa lagi yang orang-orang lakukan? Siapa yang sunni siapa yang Syiah? Ini sudah sangat gila.Sudahlah aku tak perlu mikir panjang.Segera aku lari dengan super hati-hati, karena ada penjagaan ketat dimana-mana.Tapi ada cela di sekitar pojok kanan.Penjaganya sedang berbincang-bincang.Mengalihkan perhatian ke arah kanan.Mereka tertipu, segera aku masuk.Aku mengintip di cela-cela pintu.Betapa tercengang aku melihat lelaki yang aku cari, terbaring kaku diatas balok kayu dengan tali pengikat disekujur tubuh. Di sana pasukan berbaju hitam pekat membawa senjata lengkap menjaga dengan ketat. Terjadi tembakan tiba-tiba dari luar sana. Om Stefan dan Mas Danang datang dengan senjata lengkap.Tembakan bertubi-tubi berhasil merobohkan beberapa orang berhitam-hitam itu.Tapi karena jumlah yang tidak seimbang puluhan lawan dua orang, tentu saja sangat sukar menang.“Andre Selamatkan ayahmu”, teriak Om Stefan.nafas aku tarik dalam-dalam aku fokuskan pada tubuh tua lemah di depan. aku lari, dalam pikiranku hanya ayah. “Dorr” dari kananku terdengar.Seorang perempuan berbaju hitam terbuai lemah dengan darah mengalir dari perutnya.Segera aku tolong dia. Dia yang menghalangi sebuah tembakan yang seharusnya diarahkan padaku.Aku buka cadarnya.Lemas, seperti dipalu bertubi-tubi lebih dari terkena sebuah tembakan.Perempuan itu satu-satunya sahabatku, entah dari mana dia bisa masuk.Menyamar ya dia menyamar.Aku kehabisan pikiran, “Fatimmmmmmmmmmmmmm”, perempuan itu Fatim.
          “Andre, selamatkan ayahmu. Maafkan aku! Asy…had,,,hadddduuu alllllaaahhh ilaaaaha ,,ill ,,illallah, Muhammad Rasul sul sul lallah!”, tubuhnya melemas, dia sudah tak bernafas. Fatim, merelakan nyawanya demi aku.Pasukan kita menang Fatim, pasukan yang sebenarnya kamulah pemimpinnya. Ayah sudah bebas, tapi harus mengorbankan sahabatku satu-satunya, aku akan rindu senyumannya. Sampai akhit hayatnya aku belum sempat mengatakan bahwa aku menyukainya. Hanya di depan jasad tak bernyawa ini aku bisa sampaikan itu.  Ayah, Om Stefan dan Mas Danang di belakangku menepuk bahuku, Berakhirlah peperangan ingin, entah siapa yang mendahlui.Ada banyak hal bisa aku dapatkan. Ada banyak yang didapat tapi juga ada yang terlepas hilang, Ayah kembali ditengah keluarga. Tentunya Ibu sangat bahagia dengan itu.Tapi sampai entah kapan ada yang masih mengganjal di hati.Fatim masih selalu ada disekitarku membayangiku.Aku benci perang.Aku benci Syaih-Sunni ada di dunia. Menurutku, adanya islam saja cukup, kenapa harus ditambah dengan adanya golongan aneh yang terus menghantui dunia islam. Sejak detik ini, aku berjuang bersama ayah untuk perdamaian islam. Islam yang benar-benar damai. Aku bukan syiah sekali lagi aku keluargaku bukan syiah. Itu hanya masalah kepercayaan. Kami ingin mendamaikan. Kenapa kami harus diperangi.
        Setelah pertempuran hebat  yang memakan banyak korban itu, pemerintah melarang Ormas islam berkeliaran dimana tanpa izin pemerintah, sebuah pertempuran yang tidak usah terjadi sebenarnya, melukai pancasila dan merobek-robek garuda. Sunni Syiah apa kabarmu di Surga?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar